Lukisan
dinding gua atau dinding karang menggambarkan sebuah kehidupan zaman
prasejarah dari segi sosial-ekonomi dan kepercayaan masyarakat. Sikap
hidup manusia tergambar di dalam lukisan-lukisan tersebut, dan termasuk juga di dalamnya nilai-nilai estetika dan magis yang bertalian dengan totem dan
upacara-upacara yang belum diketahui dengan jelas. Cap tangan dengan
latar belakang cat merah mungkin mengandung arti kekuatan atau lambang
kekuatan pelingdung untuk mencegah roh jahat, dan cap-cap tangan yang
jari-jarinya tidak lengkap sebagai tanda adat berkabung.
Menurut Roder dan Galis, yang menyelidiki lukisan gua di Papua, lukisan itu bertalian dengan upacara-upacara penghormatan nenek moyang, upacara penguburan, inisiasi, dan mungkin juga untuk keperluan ilmu dukun, untuk minta hujan dan kesuburan, atau memperingati suatu kejadian yang penting (Marwati Djoened Poesponegoro; 2008, 185).
A. Persebaran di luar Indonesia
Perkembangan lukisan gua ternyata tidak hanya terdapat di Indonesia, namun ternyata berkembang pula di luar Indonesia seperti; di Eropa misalnya di Italia, Sepanyol, Perancis dan di Afrika. Di wilayah Asia misalnya terdapat di India, Thailand dll, serta di Australia. Lukisan yang terdapat di beberapa Negara tersebut diperkirakan sebagai hasil kebudayaan masyarakat yang hidup berburu dan mengumpulkan makanan pada tingkat sederhana hingga tingkat lanjut. Keberadaan Seni Cadas di luar Indonesia menandakan bahwa kebudayaan yang berkembang di Indonesia tidak jauh berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di belahan dunia lain.
B. Persebaran di Indonesia
Di Indonesia, lukisan gua merupakan suatu hasil kebudayaan yang berkembang pada masa berburu tingkat lanjut, dan ditemukan di daerah Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, Papua, Kalimantan dll. Lukisan gua merupakan sebuah bukti sejarah kemampuan manusia pada zaman prasejarah mampu mencurahkan ekspresinya kedalam sebuah lukisan.
1. Lukisan Gua Sulawesi Selatan
Daerah Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang panjang, baik yang bersifat lokal maupun nasional, dengan berbagai peninggalannya. Peristiwa pembunuhan massal (40.000.000 jiwa) oleh Westerling (selanjutnya disebut sebagai “Peristiwa Westerling”) misalnya, peristiwa itu tidak akan terlupakan, khususnya oleh orang Sulawesi Selatan dan umumnya masyarakat Indonesia. Sulawesi Selatan tampaknya tidak hanya menyimpan berbagai peninggalan sejarah, tetapi berbagai peninggalan prasejarah. Peninggalan-peninggalan itu (berupa artefak) yang terdpat di berbagai gua yang ada di sana, salah satu diantaranya adalah lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding-dinding gua.
Penemuan lukisan gua di Sulawesi Selatan untuk pertama kalianya dilakukan oleh C.H.M. Heeren-Palm pada tahun 1950 di Leang PattaE, walapun memang tidak menuntut kemungkinan bahwa masyarakat sekitar sudah mengenal jauh sebelum itu. Di gua ini ditemukan cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah. Barangkali ini merupakan cap tangan kiri perempuan. Ada pun cap-cap tangan tangan ini dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan itu di dinding gua kemudian ditaburi dengan cat merah. Digua tersebut juga ditemukan lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Barangkali lukisan semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil berburu di dalam hutan. Babi rusa tadi digambarkan dengan garis-garis horizontal bewarna merah (Poespoenegoro, 2008: 187).
Sebenarnya lukisan-lukisan yang ada di dinding gua-gua di Sulawesi Selatan tidak hanya berupa cap tangan, tetapi masih banyak yang lainnya seperti babi hutan, ikan, perahu, dan manusia. Lukisan cap tangan merupakan yang dominan, ditemukan tidak hanya di Sulawesi Selatan, tetapi di berbagai wilayah Indonesia bagian Timur lainnya dan Pasifik.
a. Gua-gua dan lukisan yang terdapat di dalamnya
Maros dan Pangkep adalah 2 kabupaten dari 20 kabupaten yang tergabung di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Di sepanjang jalan yang menghubungkan kedua kabupaten itu banyak ditemukan gua-gua beserta peninggalan-peninggalan yang berupa artefak prasejarah. Gua-gua itu, diantaranya adalah: Leang Pattae, Cacondo, Uleleba, Balisao dan Pattakare. Para arkeolog yang melakukan penelitian di gua-gua tersebut, khususnya yang ada di Kabupaten Maros dan Pangkep, menemukan berbagai peninggalan zaman prasejarah yang tidak hanya berupa peralatan dari batu dan tulang-tulang, tetapi juga lukisan-lukisan kuno. Analisis Kokasih (1983) menyebutkan bahwa lukisan itu dibuat ketika kehidupan manusia sudah menetap, karena ketika manusia prasejarah masih nomaden (berpindah-pindah tempat) keselamatan relatif tidak terjamin, sehingga lukisan tidak ditemukan.
Kehidupan menetap itu sendiri, khususnya di Sulawesi Selatan, baru dimulai ketika mereka (manusia prasejarah) menemukan gua-gua yang dianggap cocok sebagai tempat berlindung untuk menghindari serangan binatang-binatang buas dan iklim yang kurang menguntungkan. Diperkirakan mereka mulai menghuni gua-gua yang ada di Sulawesi Selatan sekitar 5500 SM. Ketika itu sistem mata pencaharian yang mereka lakukan adalah berburu dan meramu. Tidak semua gua dijadikan sebagai tempat tinggal. Hanya gua yang luas, kering, memiliki cahaya yang cukup, dan dekat dengan sumber kebutuhan sehari-hari yang mereka pilih sebagai tempat tinggal.
b. Corak lukisan
Bentuk dan coraknya bervariasi; ada yang berupa tangan laki-laki, tangan perempuan dan tangan anak-anak dengan bentuk berbeda-beda: ada yang memperlihatkan hanya telapak tangan, telapak tangan sampai siku, bahkan ada juga yang memperlihatkan cap tangan yang salah satu jarinya dipotong. Adapun cara membuatnya adalah dengan menempelkan obyek (telapak tangan) ke dinding, kemudian menyemprotnya dengan cairan merah yang dibuat dari oker (hametite).
2. Lukisan Gua di Maluku
Lukisan prasejarah atau praaksara yang berupa lukisan pada dinding gua merupakan salah satu hasil kebudayaan manusia masa praaksara yang hidup pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa itu manusia bertempat tinggal digua-gua alami yang dalam atau gua-gua paying atau gua dangkal (Ceruk). Lukisan tersebut mereka buat pada dinding-dinding gua tempat tinggal mereka, seperti apa yang telah dibahas di atas.
a. Tempat penemuan dan gambar lukisan
Di Maluku penemu lukisan dinding gua adalah J. Roder pada tahun 1937, walaupun mungkin masyarakat sekitar sudah mengenal sebe sebelum Roder menemukannya. Roder menemuan lukisan gua sebanyak 100 buah di Pulau Seram, pada dinding karang di atas Sungai Tala. Lukisan yang ditemukan berupa gambar-gambar rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, dan mata.
Selain ditemukan di Pulau Seram, di Maluku lukisan cadas juga ditemukan di Kepulauan Kei, pada tebing batu karang dengan ketinggian 5-10 meter dari atas permukaan laut. Lukisan-lukisan yang ditemukan di Kepulauan Kei pada umumnya hanya berupa garis lurus saja, tetapi ada yang diberi warna pada bagian dalamnya, khususnya untuk gambar manusia. Kecuali manusia dengan berbagai adegan (menari, berperang, memegang perisai, dan jongkok dengan kedua tangan terangkat), ada pula pola topeng, burung, perahu, matahari, dan bentuk geometrik. Gaya lukisan yang ditemukan mirip dengan lukisan yang ditemukan di Pulau Seram, Papua Barat, dan Timor, bahkan lukisan di Australia bagian selatan.
Di Kampung Dudumahan, pantai utara Pulau Nuhu Rowa, yang masih satu gugusan dengan Kepulauan Kei, ditemukan lukisan dengan pola berbeda jika dibandingkan dengan pola yang pernah dilaporkan Heekeren sebelumnya. Situs lukisan gua di Dudumahan tidak saja menampilkan pola manusia, tetapi juga ikan, kura-kura, topeng, perahu, matahari, dan bentuk geometrik. Salah satu yang dianggap unik adalah pola manusia berjenis kelamin wanita dengan alat kelamin mencolok. Lukisan seperti ini biasanya memiliki makna unsur kesuburan, sama halnya dengan lukisan kelamin perempuan di Gua Wa Bose, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
Gambar-gambar pada umumnya dibuat garis luarnya saja, tatapi untuk gambar yang menyerupai manusia terisi sepenuhnya dengan cat merah. Lukisan-lukisan terdiri dari cap-cap tangan berlatar belakang merah, topeng, atau wajah manusia, lambing matahari, manusia dan perisai, manusia berjongkok dengan tungkai terbuka lebar dan tangan terangkat, orang-orang berkelahi atau menari, orang dalam perahu, burung dan gambar geometrik.
b. Gambaran kehidupan
Lukisan gua-gua merupakan gambaran sebuah pengalaman, perjuangan, dan harapan hidup manusia pada masanya. Hal ini di dasarkan pada sumber inspirasi dari cara hidup yang serba bergantung pada alam lingkunganya, yaitu hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Lukisan yang selama ini ditemukan selalu menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan alam kepercayaan masyarakat pada masa itu.
Lukisan prasejarah sering dikaitkan dengan aspek kesenian, sehingga dianggap pula sebagai cikal bakal seni lukisan. Selama tinggal di gua, selain mengerjakan alat-alat, juga menggambar dinding gua yang menunjukan aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan. (Soejono, 1993: 156-157).
Dengan membuat gambar-gambar binatang yang akan di buru, maka para pemburu merasa menguasai binatang buruannya (sympathetic magic). Hal ini antara lain ditunjukan oleh gambaran sejumlah besar binatang yang terkena panah atau terluka (Howe, 1985: 148-149).
3. Lukisan Gua di Papua
a. Penemuan
Orang yang dianggap mencatat lukisan prasejarah pertama kali di Papua adalah Johannes Keyts (Seorang pedagang) dalam perjalanan dari Banda ke pantai Nuw Guinea pada tahun 1678. Ia melewati sebuah tebing karang di tepi teluk Speelman yang dipenuhi oleh tengkorak, sebuah patung manusia, dan berbagai lukisan pada dinding gua tersebut dengan warna merah.
Lukisan gua yang ada di kepulauan Papua pada umumnya mirip dengan lukisan-lukisan yang ada di Kepulauaan Kei, meskipun ada beberapa bentuk yang berbeda atau khusus. Misalnya di daerah Kokas, Roder menemukan lukisan cap tangan dan kaki dengan latar belakang warna merah. Demikian juga hasil penelitian W.J. Cator di daerah Namatone telah menemukan pola yang sama. Bentuk lain yang dijumpai pada kedua situs ini adalah pola manusia, ikan, kadal dan perahu dengan pola distilir. Lukisan tangan dan kaki menurut cerita setempat, merupakan bekas jejak nenek moyang mereka ketika memasuki gua yang gelap, dalam melakukan perjalanan dari arah timur ke barat.
Lukisan yang ada di wilayah Kokas merupakan satu situs kuno yang terkenal di Kokas, lukisan berada di sebuah tebing bebatuan terjal. Oleh masyarakat setempat, tebing bebatuan terjal ini biasa disebut Tapurarang. Di Distrik Kokas kekayaan peninggalan sejak zaman prasejarah ini bisa dijumpai di Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras. Bagi masyarakat setempat, lokasi lukisan tebing ini merupakan tempat yang disakralkan. Mereka percaya lukisan ini adalah wujud orang-orang yang dikutuk oleh arwah seorang nenek yang berubah menjadi setan kaborbor atau hantu yang diyakini sebagai penguasa lautan paling menakutkan. Nenek ini meninggal saat terjadi musibah yang menenggelamkan perahu yang ia tumpangi.
b. Kehidupan
Seni cadas atau “rock art” yang merupakan hasil karya lukisan manusia pada zaman megalitikum, berusia puluhan ribu tahun, yang ditorehkan pada dinding-dinding gua atau ceruk, tebing karang dan pada permukaan batu-batu besar banyak ditemukan di Kaimana, Provinsi Papua Barat. Jayapura.
“Seni cadas sebagai wadah untuk menuangkan ide atau gagasan seorang seniman berkaitan dengan suatu kejadian atau keadaan yang dialami atau dilihatnya banyak ditemukan di Kaimana,Papua Barat,” kata Kepala Balai Arkeologi Jayapura, Papua, Drs.M.Irfan Mahmud,M.Si, di Jayapura. Dari hasil penelitian yang dilakukan tim Balai Arkeologi Jayapura, di Distrik Kaimana, motif-motif lukisan secara garis besar berupa manusia, fauna, flora, geometris dan benda-benda hasil budaya manusia, misalnya perahu, bumerang, tombak, tapak batu, penokok sagu dan topeng.
Motif manusia berupa gambar manusia, cap tangan, antropomorfik dan matuto. Sedangkan, fauna berbentuk kadal, ikan, penyu, buaya , kuskus, ular, burung, udang dan kuda laut. Sementara itu, matahari, segi empat dan lingkaran merupakan sebagian besar motif geometris. “Motif-motif ini tersebar di beberapa desa dengan ketinggian ceruk dan tebing karang pada 3 hingga 5 meter di atas permukaan laut,” kata Irfan. Penelitian tersebut menetapkan beberapa situs arkeologi seni cadas di tiga desa, yaitu Desa Marsi, Maimai dan Namatota.
Salah satu situs di Desa Marsi adalah Situs Tanjung Bicari. Di situs ini ditemukan lukisan antropomorfik, ikan dan titik-titik bewarna merah dan kuning. Sementara itu, motif yang lebih beragam dengan bentuk buaya, sontong, kadal, kuskus, geometris, matuto dan tombak dijumpai di Situs Omborecena, Desa Maimai.
c. Cerita adanya lukisan gua
“Orang-orang tua dahulu memandang lukisan cadas dibuat oleh setan-setan,” ujarnya. Oleh karena itu, setiap mereka melewatinya, wajib memberikan sesajen berupa sirih dan pinang yang dilemparkan ke tanjung demi keselamatan atau terhindar dari bahaya.
Adapun pendapat yang lain mengatakan, lukisan dinding merupakan tanda keberadaan Suku Mairasi, sedangkan klan Watora menyatakan, lukisan telapak yang berada di tebing-tebing di daerah tersebut adalah tempat persinggahan nenek moyang mereka ketika pindah ke Tanjung Bicari. Sejak sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan penelitian dan pengembangan Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 89 situs yang sangat berharga, baik dari segi pendidikan dan budaya maupun wisata sejarah. Situs-situs ini ada yang merupakan sisa-sisa aktivitas manusia jaman megalitikum, makam Islam dan Cina serta peninggalan jaman kolonial ketika pasukan sekutu dan Jepang menjadikan Pulau Papua sebagai palagan Perang Dunia II.
Seni Cadas yang terdapat di Papua bagian barat, yakni disekitar Teluk Seireri dan Danau Sentani, telah diteliti oleh K.W. Gailis. Sebagian lukisan yang ditemukan dalam bentuk abstrak, yaitu berupa lukisan lengkung, spiral, serta hewan melata yang distilir. Di dalam gua berlukis ini, terutama yang terletak di tepi danau, sungai, dan laut, sering dijumpai tulang-tulang manusia. Tidak dijelaskan mengenai jenis dan ras, serta keturunannya, apakah mereka termasuk pendukung dari budaya lukisan tersebut.
d. Arti Warna dan gaya lukisan
• Warna lukisan
Sesuai dengan hasil penelitian, Roder kemudian memilah-milah lukisan tersebut kedalam beberapa kelompok berdasarkan warna dan gayanya. Ia berpendapat bahwa warna merah lebih tua dari pada warna hitam, dan warna hitam lebih tua dari pada warna putih. Ketiga warna ini sering dijumpai saling tumpang tindih secara berurutan, yaitu mula-mula warna merah tertutup warna hitam, dan warna hitam juga tertutup warna putih. (Marwati Djoened Poesponegoro: 2008. 198-199).
• Gaya lukisan
Menurut gayanya, Roder mengelompokan lukisan-lukisan Irian Jaya sebagai berikut:
• Gaya Tubulinetin
• Gaya Mangga
• Gaya Arguni dan Ota I
• Gaya Ota II dan Sosorra
Pada gaya Arguni dan Ota I terdapat lukisan yang sepenuhnya berwarna hitam, gaya Ota II dan Sosorra menampilkan lukisan perahu dengan disertai adat penempatan mayat di depan gua-gua. Sebagian besar lukisan yang ditemukan itu berwarna merah. Terdapat juga lukisan yang menyerupai manusia dan biantang; manusia dengan topi yang lancip, orang yang berjongkok dengan tangan di angkat, dan gambar kadal sebagai gambar nenek moyang.
• Makna yang tersimpan
Menurut pendapat masyarakat yang tersebar di area sekitarnya, gambar binatang itu disebut matuto dan dianggap sebagai pahlawan nenek moyang, dan karena itu sampai sekarang di tempat-tempat mengandung lambang itu masih dilakukan upacara dan tari-tarian. Dikatakan juga cap tangan tersebut mempunyai kekuatan pelindung dan pencegah kekuatan jahat. Para perempuan dilarang menyaksikan lukisan-lukisan ini. Selain cap tangan dan bentuk gabungan antara manusia dan binatang, terdapat juga lukisan orang dengan perisai dan boomerang, burung dan perahu. Gambar-gambar kemudian menjadi suatu perhiasan dalam upacara penguburan, di atas dinding kayu, perisai dan manik-manik.
Melihat analisis Reinach dan Begeuen yang berusaha menganalisis lukisan gua dari segi kesuburan dan upacara kepercayaan, jelas bahwa gua-gua yang tersebar di wailayah Papua ini nampak sebagai bagian dari itu semua. Gua-gua yang ada di Papua berusaha untuk menjelaskan kegiatan sehari-hari mereka baik yang berhubungan dengan sosial-ekonomi maupun yang berhubungan dengan masalah kepercayaan.
Lukisan gua merupakan sebuah bentuk perwakilan ekspresi diri manusia pada masa itu, mereka berusaha mengabadikan semua kegiatanya yang dilakukannya dalam bentuk coretan dinding gua atau oleh masyarakat sekarang bisa dikatakan sebagai bagian dari lukisan gua.
Lukisan gua bisa dikatakan sebagai referensi manusia sekarang untuk melihat sebagaimana tingkat kecerdasan manusia pada masa itu. Dengan melihat dinding gua yang ada, kita bisa mengasumsikan bahwa manusia yang tinggal di kepulauan Nusantara ternyata telah memiliki nilai dan kemampuan kebudayaan yang tinggi pada masa itu, ini terbukti dengan banyak ditemukan benda-benda praaksara yang menandakan mereka telah mampu menciptakan sesuatu yang menggambarkan kehidupannya (Lukisan gua). Lukisan gua ini salah satu dari peninggalan pada masa prasejarah yang masih bisa kita nikmati dan pelajari makna dibalik pembuatannya.
4. Lukisan Gua Sulawesi Tenggara
Kekayaan alam lain yang terdapat di Sulawesi, khususnya Sulawesi Tenggara adalah lukisan gua. Lukisan gua dan ceruk di Sulawesi Tenggra terdapat di Mentanduro, La Kabori, Kolumbo, Toko, dan wa Bose, sedangkan ceruk-ceruknya adalah La Sabo, Tangga Ara, La Nasrofa, dan Ida Malangi. Semua peninggalan ini terdapat di sekitar kawasan perladangan Liabalano, Kampung Mabolu, Desa Bolo, Kecamatan Kotobu.
Kompleks seni cadas di Pulau Muna rupanya menunjukan tingkat perbedaan yang signifikan, tidak saja perihal teknik penggambaran serta warna yang digunakan, tetapi juga polanya yang bervariasi. Lukisan gua yang terdapat di Pulau Muna memiliki warna coklat yang terbuat dari tanah liat. Hal yang menarik dari lukisan yang terdapat di Pulau Muna adalah tidak diketemukan pola cap tangan sebagaimana lukisan-lukisan yang lainnya.
a. Gua Metanduro
Menggambarkan pola manusia, kuda, rusa, babi, anjing, ular, lipan, perahu, matahari, dan bentuk-bentuk Geometrik. Suatu adegan berburu memperlihatkan pemburu sedang menancapkan ke punggung rusa, sementara dibelakangnya dua ekor anjing mengikutinya. Pola ini menunjukan bahwa pada masa itu masyarakatnya sudah menggunakan tombak sebagai alat berburu dan sudah menggunakan hewan peliharaan seperti anjing untuk membantu perburuan. Sedangkan pola ular dan lipan sebagai lambang peringatan kepada manusia agar lebih berhati-hati karena keduanya berbahaya bagi manusia. Kecuali sebagai pemburu, pola manusia di gua ini juga berperan sebagai perajurit yang sedang bertempur, baik di darat dengan menaik kuda maupun dilaut dengan menaik perahu panjang serta membawa tombak, senjata tajam panjang, serta perisai.
b. Gua Kobori
Memiliki pola yang sama dengan pola gua Metanduro, kecuali babi, ular dan lipan tidak terdapat di sini. Disini peranan manusia tidak hanya sebagai pemburu atau prajurit, tetapi juga sebagai penari dan bahkan mampu terbang seperti burung. Peran yang terakhir ini dibuktikan dengan adanya gambar manusia yang memiliki cakar pada tangan dan kakinya. Adegan menari masih dapat dikaitkan dengan unsur profan dan sakral, yang ada hubungannya dengan kesejahtraan hidup masyarakat. Sebaliknya, untuk pola manusia terbang atau manusia burung dianggap mengandung gambaran buruk dan jahat terhadap orang lain untuk selalu mencelakakannya karena mereka memiliki ilmu sihir atau ilmu hitam.
Pola yang dianggap spektakuler ditinjukan oleh perahu dengan layar berbentuk persegi panjang dan pola nyaris vertikal, memiliki dayung dan kemudi, serta di dalamnya terdapat beberapa awak perahu. (Marwati Djoened Poesponegoro; 2008, 192).
Melihat pada bentuk dasarnya, perahu tersebut sudah memperoleh sentuhan teknologi modern yang mungkin dikembangkan mulai abad-abad masehi. Yang patut kita perhitungkan dalam gambar kapal ini adalah kemampuan para awak kapalnya, yang sudah memiliki ilmu pelayaran atau navigasi pada zamannya. Kalau melihat bentuknya, perahu tersebut diperkirakan merupakan perahu niaga atau untuk mencari ikan.
c. Gua Wa Bose
Gua We Bose mempunyai lukisan gua yang berbentuk genital atau kelamin perempuan, lukisan ini memiliki makna yang erat sekali dengan kesuburan. Pola unik lainnya ditemukan di Gua Toko, yang menampilkan bentuk pohok kelapa dan jagung, yang secara harfiah menggambarkan pola yang bermakna sosial-ekonomi atau erat hubunganya dengan sistem mata pencaharian.
d. Gua Toko
Berada pada bukit setinggi 30 meter dari permukaan tanah. Objek lukisan yang dominan pada dinding gua adalah manusia dan penunggang kuda, sedangkan bentuk yang dikatakan unik adalah lukisan pohon kelapa dan pohon jagung. Kedua jenis gambar ini menunjukan bahwa nenek moyang masyarakat Pulau Muna sudah mengenal sistem pertanian atau tradisi bercocok tanam pada masa lampau.
e. Ceruk La Sabo
Terletak di jalur jalan setapak antara Gua Mentanduno dan kampung Mabolu. Ceruk ini panjangnya kira-kira 31 meter dengan arah barat-timur menghadap ke selatan. Lukisan yang ada di Ceruk La Sabo menggambarkan pola manusia dan hewan yang terdiri dari rusa, anjing dan musang serta satu-satunya perahu. Adegan perburuan memperlihatkan seorang pemburu sedang membidikan senjatanya ke arah sekelompok rusa jantan dan betina yang sedang berlari untuk menyelamatkan diri. Adegan lainnya menunjukan dua ekor rusa jantan sedang berkelahi, kemudian dinding yang berikutnya menampilkan gambar rusa, perahu, dan anjing, dan diujung timur ceruk terdapat pola hewan yang secara fisik memiliki ciri-ciri jenis musang.
f. Ceruk Tangga Ara
Jika dibandingkan dengan Ceruk La Sabo, Ceruk Tangga Ara memiliki ukuran lebih besar dan tinggi, tetapi pendek. Meskipun demikian, ternyata ceruk ini hanya memiliki beberapa lukisan dengan pola manusia dan kuda. Penyebab dari sedikitnya lukisan yang terdapat di Caruk ini tidak terlepas dari keadaan dinding yang kasar dan tidak rata, sehingga menyulitkan untuk mencantumkan gambar pada permukaan. Bentuk lukisan terlihat kurang sempurna, tetapi secara sepintas adegannya dapat diketahui, antara lain gambar prajurit sedang memegang senjata tajam dan perisai, penunggang kuda, serta perkelahian satu lawan satu dengan menggunakan jenis senjata yang sama.
g. Ceruk La Nasrofa
Letaknya berhadapan dengan Gua La Kolumbu, jaraknya kurang lebih sekitar 75 meter. Ceruk tersebut berada pada sebuah tebing bukit yang terjal, dengan ketinggian sekitar 20 meter dari permukaan tanah. Pada dinding yang terjal itu tampak ada lukisan, antara lain individu manusia, penunggang kuda dan pemburu.
h. Celuk Ida Malangi
Celuk ditemukan pada tahun 1984, berada di sebelah timur Gua Metanduno jaraknya sekitar 50 meter menghadap ke arah barat daya. Ceruk Ida Malangi hanya memiliki tujuh buah lukisan yang terdiri dari individu manusia, prajurit, penunggang kuda, lukisan belum jelas bentuknya dan lukisan belum selesai.
Lukisan gua-gua yang berada di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara telah diteliti oleh E.A. Kosasih pada tahun 1977. Gaya lukisan yang ada Nampak berbeda dengan gua yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah Maros. Cap jari tangan pada lukisan gua di Maros nampak tidak diketemukan pada lukisan gua di Pulau Muna. Sedangkan hal yang nampak dilukiskan pada gua-gua di sekitar Pulau Muna antara lain, manusia dalam berbagai sikap (seperti naik kuda, memegang tombak atau pedang, dan berkelahi), binatang (kuda, buaya, rusa, anjing, kadal dan sebagainya), serta matahari dan perahu yang dinaiki orang. Manusia dilukiskan dalam gua-gua di Pulau Muna dengan anggota badan atas dan bawah dibentangkan ke samping. Warna yang mendominasi dinding gua pada lukisan di Pulau Muna adalah warna coklat.
i. Penggambaran Kehidupan
Penggambaran yang tertela dalam lukisan ini merupakan sebuah bukti adanya kehidupan manusia pada masa itu yang sudah memiliki kemampuan seni dan pemikiran tentang simbol-simbol kehidupan. Manusia prasejarah mengabadikan kehidupannya lewat sebuah lukisan gua, ini semua sebenarnya memiliki kesamaan dengan manusia sekarang yaitu sama-sama mencatat gerak-gerik kehidupannya, tetapi pada masa itu hanya terbatas pada lukisan sedangkan pada masa sekarang jauh lebih kompleks.
5. Lukisan Gua Kalimantan
Penelitian tentang peninggalan zaman prasejarah terus dilakukan, Balai Arkeologi Banjarmasin sudah merintis penelitian tentang peninggalan lukisan gua di Kalimantan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas kehidupan manusia pada zaman prasejarah, dan dijadikan sebagai pengetahuan bagi manusia sekarang. Salah satu gua yang menjadi kajian adalah Gua Babi, dimana di dalamnya ditemukan sisa-sisa aktivitas hunian manusia.
a. Gua yang memiliki lukisan
Penelitian terhadap gua-gua yang ada lukisannya baru dilakukan pada tahun 1996. Gua tersebut berada di kawasan Tanjung Mangkalihat, Kecamatan Sangkulirang, kabupaten Kutai Timur (Kalimantan Timur). Dari beberapa gua yang ada di kawasan tersebut, delapan gua ternyata memiliki lukisan yang bervariasi, yaitu Gua Mardua, payau, Liang Sara, Masri, Ilas Keceng, Tewet, Tamrin, dan Ham.
b. Pola lukisan
Pola lukisan gua yang dominan adalah cap tangan, yang tampaknya sama dengan cap tangan yang ada di kompleks Maros dan kompleks Pangkajene, Sulawesi Selatan. Pola berikutnya antara lain banteng dan tapir yang sudah punah ribuan tahun yang lalu, kemudian babi, rusa, tumbuh-tumbuhan, bentuk geometrik, serta manusia yang berperan sebagai pemburu dan penari. Pola bentuk dan pola lukisan menunjukan adanya kelas sosial pada masyarakat pendukungnya yang berkembang pada waktu itu, baik yang mengandung makna sosial-ekonomi maupun religis-magis.
Seni cadas yang paling menarik adalah Gua Tamrin dan Gua Ham karena begitu banyak gambar di dalamnya. Gua Tamrin terletak di dekat sungai Marang, memiliki sejumlah lukisan penari bertopeng yang menutupi seluruh bagian kepalanya. Lukisan tersebut mirip dengan tarian adat yang masih berlangsung pada beberapa suku di Papua. Sementara itu, di Gua Ham ditemukan pola cap seperti penari, tapir, rusa dan tumbuh-tumbuhan. Chazine berpendapat bahwa pola cap tangan yang di jumpai di dalam gua tersebut merupakan yang paling banyak di dunia.
C. Bahan pembuat Lukisan Gua
Ribuan tahun telah berlalu sejak lukisan gua ini dibuat, kini lukisan dinding gua telah banyak mengalami kerusakan karena proses pelapukan dan pengelupasan kulit batuan terus berlanjut. Lukisan pada dinding gua prasejarah umumnya mengalami kerusakan yang sama, selain terjadi pengelupasan juga terjadi retakan mikro dan makro. Di samping itu di beberapa tempat warna lukisan memulai memudar terutama lukisan yang terletak di bagian dinding depan mulut gua. Demikian pula proses inkrastasi (pengendapan kapur) terus berlanjut, hampir semua gua terjadi proses pengendapan kapur pada kulit batuan gua, coretan spidol dan goresan benda tajam juga banyak dijumpai (Said, dkk, 2007).
Meskipun banyak yang telah mengalami kerusakan, keberadaan lukisan prasejarah yang mampu bertahan selama puluhan ribu tahun tersebut sangat menggugah untuk dikaji. Banyak pertanyaan yang timbul mengenai lukisan tersebut, mulai dari bahan yang digunakan, metode peramuan dan aplikasinya, hingga interaksinya dengan dinding gua dan lingkungan sehingga mampu bertahan dalam kurun waktu yang sangat lama.
Pengetahuan mengenai bahan lukisan tersebut sangat penting untuk dikaji secara mendalam sebagai bagian dari usaha konservasi. Berbagai manfaat dapat diambil apabila pertanyaan mengenai bahan yang digunakan pada lukisan tersebut dapat terungkap. Manfaat tersebut antara lain dapat diketahui interaksi bahan tersebut dengan dinding dan lingkungan, sehingga dapat digunakan untuk merumuskan metode konservasinya. Manfaat yang lain adalah dapat dijadikan acuan dalam melakukan restorasi lukisan yang hilang atau mengelupas jika diperlukan. dan yang lebih penting adalah dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan untuk mengungkap pola kehidupan masa lalu dan kearifan budayanya.
Sulitnya mengungkap bahan yang digunakan pada lukisan menyebabkan hingga saat ini belum ada statemen yang pasti mengenai jenis bahan lukisan maupun cara aplikasinya. Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan adalah laporan survey, serta laporan studi konservasi dan observasi yang dilakukan oleh Samidi (1985 dan 1986).
Meskipun tidak secara langsung menyebut bahan lukisan terbuat dari hematit, Samidi telah menggunakan hematit sebagai pigmen pengganti. Dengan kata lain Samidi telah menduga bahwa bahan pewarna lukisan yang digunakan adalah hematit. Pemilihan hematit sebagai bahan pewarna oleh Samidi didasarkan pada masyarakat tradisional Toraja yang menggunakan hematit untuk membuat pewarna pada hiasan rumah adat. Beberapa peneliti terdahulu juga telah menyebutkan dugaan warna merah berasal dari hematit. Dugaan ini didasarkan atas temuan hematit yang terdapat di Leang Burung 2 dan Pattae. Temuan hematit di Leang Burung 2 diperoleh pada penggalian yang dilakukan oleh I.C. Glover pada tahun 1973. Hematit ini ditemukan pada berbagai lapisan bersama-sama dengan temuan batu inti dan alat serut. Hematit yang ditemukan berupa pecahan seperti batu merah dan tampak adanya alur-alur yang diduga sebagai akibat dari usaha manusia untuk memanfaatkannya (Glover, 1981 dalam Restiyadi, 2007). Hematit di Leang Pattae ditemukan oleh Van Hekeren tahun 1950.
Hematit bukanlah perwarna instant yang siap dipakai, akan tetapi diperlukan sebuah proses pengolahan terlebih dahulu yaitu proses dari hematit padat ke pewarna cair. Melalui temuan hematit dan adanya tanda-tanda pengerjaan yang ditemukan oleh Glover dan Hekeren, dapat diduga adanya persiapan-persiapan (pra produksi) sebelum produksi lukisan gua (Restiyadi, 2007). Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Sadirin (1998). Pada penelitian tersebut dicoba usaha untuk membuat dugaan campuran yang digunakan dengan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan (sirih, gambir, dan pinang). Hasil penelitian yang menggunakan bahan-bahan alami tumbuh-tumbuhan tersebut pada awalnya cukup baik, namun tidak dapat bertahan lama. Dalam waktu beberapa bulan sudah memudar.
Berdasarkan hasil observasi dilapangan diperkirakan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sebuah lukisan adalah sebagai berikut:
Penemuan di lima tempat berlainan dekar Ramasokat, ditemukan lukisan pada dinding karang yang terdiri dari dua kelompok yang berlainan. Pertama, kelompok lukisan dengan warna merah yang sudah rusak, Kedua adalah lukisan berwarna putih dengan keadaan masih baik. Menurut pendapat Roder, lukisan ini mengindikasikan bahwa warna ini mengindikasikan tua mudanya lukisan. Roder berpendapat bahwa lukisan yang berwarna merah lebih tua dari lukisan yang berwarna putih. Lukisan-lukisan ini berupa cap tangan, gambar kadal, manusia dengan perisai, dan orang dalam keadaan sikap jongkok sambil mengangkat tangan, yang semuanya berwarna merah. Sedangkan lukisan yang berwarna putih adalah lukisan-lukisan yang berupa lukisan burung dan perahu.
E. Nilai-nilai yang terkandung
Sebagaimana telah disebut pada bagian atas bahwa lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua di Sulawesi Selatan tidak hanya cap tangan. Namun, demikian yang sangat menarik perhatian para peneliti prasejarah adalah cap tangan. Van Heekeren (1952), Soejono (1977) dan Kosasih (1983) mengatakan bahwa tujuan pembuatan lukisan itu ada kaitannya dengan kepercayaan mereka (bersifat religius). Artinya, karya seni tersebut dibuat tidak terkait langsung dengan tujuan artistik (menambah keindahan suatu objek yang dilukis), tetapi suatu usaha untuk dapat berkomunikasi dengan kekuatan supranatural. Oleh karena itu, para peneliti memperkirakan bahwa ide melukis dinding gua pada awalnya merupakan suatu permohonan kepada kekuatan tertentu agar apa yang dikehendaki dapat tercapai, sesuai dengan apa yang dilukis. Mengenai lukisan cap tangan itu sendiri, Van Heekeren (1952) mengatakan bahwa lukisan itu ada hubungannya dengan upacara kematian dan kehidupan di alam lain (kehidupan setelah mati). Lebih jauh, Van Heekeren (1952), dengan menggunakan studi etnoarchaelogy, mengaitkan antara cap tangan dan religi. Ia menyatakan bahwa cap tangan menggambarkan suatu perjalanan arwah yang telah meninggal yang sedang meraba-raba menuju ke alam arwah. Selain itu, cap tangan juga merupakan suatu tanda bela sungkawa dari orang-orang yang dekat dengan yang mati.
Umumnya lukisan yang ada di dinding gua-gua yang terdapat di Sulawesi Selatan berada pada tempat yang sulit dijangkau oleh tangan manusia (mendekati atap gua), sebagaimana yang terdapat di gua Leang-leang (Kabupaten Maros) dan gua Garunggung (Kabupaten Pangkep).
a. Reinach
Berusaha menganalisis pada sympathetic magic, yakni keyakinan akan adanya keuatan dalam berburu (hanting magic), dan keyakinan akan adanya kekuatan dalam aspek kesuburan (fertility magic). Lukisan yang dapat dilihat berdasarkan Sympathetic Magic yang ada di kepulauan Maluku adalah lukisan yang ada di Di Kampung Dudumahan, pantai utara Pulau Nuhu Rowa. Salah satu lukisannya dianggap unik adalah pola manusia berjenis kelamin wanita dengan alat kelamin mencolok. Dari sini berdasarkan Sympathetic Magic bisa dikatakan berhubungan dengan masalah kesuburan. Kesuburuan menjadi salah satu harapan manusia dalam hidupnya, manusia selalu mencari kesuburan baik dari segi alam maupun kelahiran. Kesuburan ini menjadi salah satu indikator manusia mampu bertahan hidup di dunia.
b. Begeuen
Menganalisis dari segi rites magic yaitu kekuatan gambar-gambar binatang dan manusia dalam satu ritual upacara magis. Berusaha lukisan-lukisan dari rites magic dimana manusia selalu mengadakan ritual-ritual upacara yang berhubungan dengan sebuah keyakinan kepada sang pencipta. Luksian gua yang menggambarkan tentang rites magic terdapat dalam gua Pulau Seram dan Kepulauan Kei, di gua ini banyak gambar-gambar manusia, binatang, matahari dll. Pembuatan lukisan ini menunjukan bahwa manusia pada masa itu berusaha untuk menujukan tingkat kecerdasan kemampuan mereka dalam melaksanakan kepercayaannya. Kepercayaan merupakan sebuh dasarnya suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Kepercayaan ini menjadi sebuah landasan manusia untuk menjalankan hidupnya, maka untuk itu manusia pada masa itu berusaha untuk mengabadikan hal-hal yang berhubungan dengan sebuah kepercayaan masyarakat.
Semua yang digambarkan dalam lukisan gua pada masa prasejarah merupakan sebuah bentuk refleksi dari kehidupan yang di jalani pada masanya. Kehidupan mereka selalu tergantung pada alam dan alam merupakan tempat bagi mereka untuk menggantukan hidupnya. Gua sebagai tempat mereka berteduh dan beristirahat atau sebagai tempat tinggal dijadikan sebuah sebagai salah satu tempat untuk mengekpresikan perjalanan hidup. Lukisan ini merupakan sebuah perwakilan kata-kata manusia pada masa itu yang ingin disampaikan kepada segenap masyarakatnya dan akhirnya menjadi bukti bagi manusia sekarang untuk mempelajarinya sekaligus merupakan inspirasi bagi seniman-seniman lukis untuk membuat sebuah karya lukisan dalam bentuk dan bahan yang berbeda.
F. Nilai Budaya
Lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua yang ada ini bukan sekedar lukisan, karena lukisan itu diselimuti oleh suasana sakral dan religius. Melalui lukisan seseorang dapat berkomunikasi dengan kekuatan yang lebih tinggi (supranatural). Sehingga apa yang diharapkan dapat dikabulkan. Lukisan cap tangan juga bukan hanya sekedar lukisan, tetapi merupakan simbol belangsungkawa dan perjalanan dalam “dunia lain”. Ini artinya bahwa lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua memiliki nilai religious dan sosial-ekonomi. (gufron)
Kepustakaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Melalatoa, J. (1995). Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A-K. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kosasih, S.A. (1983). Lukisan Gua di Indonesia sebagai Data Sumber Penelitian arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta, hal 158-175,
Linda, (2005). Tata Letak Lukisan Dinding Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM
Poesponegro, marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I “Zaman Prasejarah di Indonesia“. Jakarta: Balai Pustaka
Restiyadi, Andri. (2007). “Diskursus Cap Tangan Negatif Interpretasi Terhadap Makna dan Latar Belakang Penggambarannya di Kabupaten Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan” dalam Artefak Edisi XXVIII. Yogyakarta : Hima UGM
Samidi, (1985). Laporan Hasil Survey Konservasi Lukisan Gua Sumpang Bita dan Pelaksanaan Konservasi Lukisan Gua Pettae Kerre. Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan
Samidi, (1986). Laporan Konservasi Lukisan Perahu/ Sampan si Gua Sumpang Bita (Tahap Awal) dan Konservasi Lukisan Babi Rusa di Gua Pettae Kerre (Penyelesaian). Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.
…………..”Lukisan Cap Tangan pada Dinding-dinding Gua di Sulawesi Selatan”. [Online]. Terdapat di. http://uun-halimah.blogspot.com/2008/05/lukisan-cap-tangan-pada-dinding-dinding.html [26-11-09]
….………. (2008). “MISTERI BAHAN LUKISAN PRASEJARAH MAROS-PANGKEP”. [Online]. Terdapat di. http://konservasiborobudur.org/?p=86 [26-11-09]
Menurut Roder dan Galis, yang menyelidiki lukisan gua di Papua, lukisan itu bertalian dengan upacara-upacara penghormatan nenek moyang, upacara penguburan, inisiasi, dan mungkin juga untuk keperluan ilmu dukun, untuk minta hujan dan kesuburan, atau memperingati suatu kejadian yang penting (Marwati Djoened Poesponegoro; 2008, 185).
A. Persebaran di luar Indonesia
Perkembangan lukisan gua ternyata tidak hanya terdapat di Indonesia, namun ternyata berkembang pula di luar Indonesia seperti; di Eropa misalnya di Italia, Sepanyol, Perancis dan di Afrika. Di wilayah Asia misalnya terdapat di India, Thailand dll, serta di Australia. Lukisan yang terdapat di beberapa Negara tersebut diperkirakan sebagai hasil kebudayaan masyarakat yang hidup berburu dan mengumpulkan makanan pada tingkat sederhana hingga tingkat lanjut. Keberadaan Seni Cadas di luar Indonesia menandakan bahwa kebudayaan yang berkembang di Indonesia tidak jauh berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di belahan dunia lain.
B. Persebaran di Indonesia
Di Indonesia, lukisan gua merupakan suatu hasil kebudayaan yang berkembang pada masa berburu tingkat lanjut, dan ditemukan di daerah Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, Papua, Kalimantan dll. Lukisan gua merupakan sebuah bukti sejarah kemampuan manusia pada zaman prasejarah mampu mencurahkan ekspresinya kedalam sebuah lukisan.
1. Lukisan Gua Sulawesi Selatan
Daerah Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang panjang, baik yang bersifat lokal maupun nasional, dengan berbagai peninggalannya. Peristiwa pembunuhan massal (40.000.000 jiwa) oleh Westerling (selanjutnya disebut sebagai “Peristiwa Westerling”) misalnya, peristiwa itu tidak akan terlupakan, khususnya oleh orang Sulawesi Selatan dan umumnya masyarakat Indonesia. Sulawesi Selatan tampaknya tidak hanya menyimpan berbagai peninggalan sejarah, tetapi berbagai peninggalan prasejarah. Peninggalan-peninggalan itu (berupa artefak) yang terdpat di berbagai gua yang ada di sana, salah satu diantaranya adalah lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding-dinding gua.
Penemuan lukisan gua di Sulawesi Selatan untuk pertama kalianya dilakukan oleh C.H.M. Heeren-Palm pada tahun 1950 di Leang PattaE, walapun memang tidak menuntut kemungkinan bahwa masyarakat sekitar sudah mengenal jauh sebelum itu. Di gua ini ditemukan cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah. Barangkali ini merupakan cap tangan kiri perempuan. Ada pun cap-cap tangan tangan ini dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan itu di dinding gua kemudian ditaburi dengan cat merah. Digua tersebut juga ditemukan lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Barangkali lukisan semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil berburu di dalam hutan. Babi rusa tadi digambarkan dengan garis-garis horizontal bewarna merah (Poespoenegoro, 2008: 187).
Sebenarnya lukisan-lukisan yang ada di dinding gua-gua di Sulawesi Selatan tidak hanya berupa cap tangan, tetapi masih banyak yang lainnya seperti babi hutan, ikan, perahu, dan manusia. Lukisan cap tangan merupakan yang dominan, ditemukan tidak hanya di Sulawesi Selatan, tetapi di berbagai wilayah Indonesia bagian Timur lainnya dan Pasifik.
a. Gua-gua dan lukisan yang terdapat di dalamnya
Maros dan Pangkep adalah 2 kabupaten dari 20 kabupaten yang tergabung di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Di sepanjang jalan yang menghubungkan kedua kabupaten itu banyak ditemukan gua-gua beserta peninggalan-peninggalan yang berupa artefak prasejarah. Gua-gua itu, diantaranya adalah: Leang Pattae, Cacondo, Uleleba, Balisao dan Pattakare. Para arkeolog yang melakukan penelitian di gua-gua tersebut, khususnya yang ada di Kabupaten Maros dan Pangkep, menemukan berbagai peninggalan zaman prasejarah yang tidak hanya berupa peralatan dari batu dan tulang-tulang, tetapi juga lukisan-lukisan kuno. Analisis Kokasih (1983) menyebutkan bahwa lukisan itu dibuat ketika kehidupan manusia sudah menetap, karena ketika manusia prasejarah masih nomaden (berpindah-pindah tempat) keselamatan relatif tidak terjamin, sehingga lukisan tidak ditemukan.
Kehidupan menetap itu sendiri, khususnya di Sulawesi Selatan, baru dimulai ketika mereka (manusia prasejarah) menemukan gua-gua yang dianggap cocok sebagai tempat berlindung untuk menghindari serangan binatang-binatang buas dan iklim yang kurang menguntungkan. Diperkirakan mereka mulai menghuni gua-gua yang ada di Sulawesi Selatan sekitar 5500 SM. Ketika itu sistem mata pencaharian yang mereka lakukan adalah berburu dan meramu. Tidak semua gua dijadikan sebagai tempat tinggal. Hanya gua yang luas, kering, memiliki cahaya yang cukup, dan dekat dengan sumber kebutuhan sehari-hari yang mereka pilih sebagai tempat tinggal.
b. Corak lukisan
Bentuk dan coraknya bervariasi; ada yang berupa tangan laki-laki, tangan perempuan dan tangan anak-anak dengan bentuk berbeda-beda: ada yang memperlihatkan hanya telapak tangan, telapak tangan sampai siku, bahkan ada juga yang memperlihatkan cap tangan yang salah satu jarinya dipotong. Adapun cara membuatnya adalah dengan menempelkan obyek (telapak tangan) ke dinding, kemudian menyemprotnya dengan cairan merah yang dibuat dari oker (hametite).
2. Lukisan Gua di Maluku
Lukisan prasejarah atau praaksara yang berupa lukisan pada dinding gua merupakan salah satu hasil kebudayaan manusia masa praaksara yang hidup pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa itu manusia bertempat tinggal digua-gua alami yang dalam atau gua-gua paying atau gua dangkal (Ceruk). Lukisan tersebut mereka buat pada dinding-dinding gua tempat tinggal mereka, seperti apa yang telah dibahas di atas.
a. Tempat penemuan dan gambar lukisan
Di Maluku penemu lukisan dinding gua adalah J. Roder pada tahun 1937, walaupun mungkin masyarakat sekitar sudah mengenal sebe sebelum Roder menemukannya. Roder menemuan lukisan gua sebanyak 100 buah di Pulau Seram, pada dinding karang di atas Sungai Tala. Lukisan yang ditemukan berupa gambar-gambar rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, dan mata.
Selain ditemukan di Pulau Seram, di Maluku lukisan cadas juga ditemukan di Kepulauan Kei, pada tebing batu karang dengan ketinggian 5-10 meter dari atas permukaan laut. Lukisan-lukisan yang ditemukan di Kepulauan Kei pada umumnya hanya berupa garis lurus saja, tetapi ada yang diberi warna pada bagian dalamnya, khususnya untuk gambar manusia. Kecuali manusia dengan berbagai adegan (menari, berperang, memegang perisai, dan jongkok dengan kedua tangan terangkat), ada pula pola topeng, burung, perahu, matahari, dan bentuk geometrik. Gaya lukisan yang ditemukan mirip dengan lukisan yang ditemukan di Pulau Seram, Papua Barat, dan Timor, bahkan lukisan di Australia bagian selatan.
Di Kampung Dudumahan, pantai utara Pulau Nuhu Rowa, yang masih satu gugusan dengan Kepulauan Kei, ditemukan lukisan dengan pola berbeda jika dibandingkan dengan pola yang pernah dilaporkan Heekeren sebelumnya. Situs lukisan gua di Dudumahan tidak saja menampilkan pola manusia, tetapi juga ikan, kura-kura, topeng, perahu, matahari, dan bentuk geometrik. Salah satu yang dianggap unik adalah pola manusia berjenis kelamin wanita dengan alat kelamin mencolok. Lukisan seperti ini biasanya memiliki makna unsur kesuburan, sama halnya dengan lukisan kelamin perempuan di Gua Wa Bose, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
Gambar-gambar pada umumnya dibuat garis luarnya saja, tatapi untuk gambar yang menyerupai manusia terisi sepenuhnya dengan cat merah. Lukisan-lukisan terdiri dari cap-cap tangan berlatar belakang merah, topeng, atau wajah manusia, lambing matahari, manusia dan perisai, manusia berjongkok dengan tungkai terbuka lebar dan tangan terangkat, orang-orang berkelahi atau menari, orang dalam perahu, burung dan gambar geometrik.
b. Gambaran kehidupan
Lukisan gua-gua merupakan gambaran sebuah pengalaman, perjuangan, dan harapan hidup manusia pada masanya. Hal ini di dasarkan pada sumber inspirasi dari cara hidup yang serba bergantung pada alam lingkunganya, yaitu hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Lukisan yang selama ini ditemukan selalu menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan alam kepercayaan masyarakat pada masa itu.
Lukisan prasejarah sering dikaitkan dengan aspek kesenian, sehingga dianggap pula sebagai cikal bakal seni lukisan. Selama tinggal di gua, selain mengerjakan alat-alat, juga menggambar dinding gua yang menunjukan aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan. (Soejono, 1993: 156-157).
Dengan membuat gambar-gambar binatang yang akan di buru, maka para pemburu merasa menguasai binatang buruannya (sympathetic magic). Hal ini antara lain ditunjukan oleh gambaran sejumlah besar binatang yang terkena panah atau terluka (Howe, 1985: 148-149).
3. Lukisan Gua di Papua
a. Penemuan
Orang yang dianggap mencatat lukisan prasejarah pertama kali di Papua adalah Johannes Keyts (Seorang pedagang) dalam perjalanan dari Banda ke pantai Nuw Guinea pada tahun 1678. Ia melewati sebuah tebing karang di tepi teluk Speelman yang dipenuhi oleh tengkorak, sebuah patung manusia, dan berbagai lukisan pada dinding gua tersebut dengan warna merah.
Lukisan gua yang ada di kepulauan Papua pada umumnya mirip dengan lukisan-lukisan yang ada di Kepulauaan Kei, meskipun ada beberapa bentuk yang berbeda atau khusus. Misalnya di daerah Kokas, Roder menemukan lukisan cap tangan dan kaki dengan latar belakang warna merah. Demikian juga hasil penelitian W.J. Cator di daerah Namatone telah menemukan pola yang sama. Bentuk lain yang dijumpai pada kedua situs ini adalah pola manusia, ikan, kadal dan perahu dengan pola distilir. Lukisan tangan dan kaki menurut cerita setempat, merupakan bekas jejak nenek moyang mereka ketika memasuki gua yang gelap, dalam melakukan perjalanan dari arah timur ke barat.
Lukisan yang ada di wilayah Kokas merupakan satu situs kuno yang terkenal di Kokas, lukisan berada di sebuah tebing bebatuan terjal. Oleh masyarakat setempat, tebing bebatuan terjal ini biasa disebut Tapurarang. Di Distrik Kokas kekayaan peninggalan sejak zaman prasejarah ini bisa dijumpai di Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras. Bagi masyarakat setempat, lokasi lukisan tebing ini merupakan tempat yang disakralkan. Mereka percaya lukisan ini adalah wujud orang-orang yang dikutuk oleh arwah seorang nenek yang berubah menjadi setan kaborbor atau hantu yang diyakini sebagai penguasa lautan paling menakutkan. Nenek ini meninggal saat terjadi musibah yang menenggelamkan perahu yang ia tumpangi.
b. Kehidupan
Seni cadas atau “rock art” yang merupakan hasil karya lukisan manusia pada zaman megalitikum, berusia puluhan ribu tahun, yang ditorehkan pada dinding-dinding gua atau ceruk, tebing karang dan pada permukaan batu-batu besar banyak ditemukan di Kaimana, Provinsi Papua Barat. Jayapura.
“Seni cadas sebagai wadah untuk menuangkan ide atau gagasan seorang seniman berkaitan dengan suatu kejadian atau keadaan yang dialami atau dilihatnya banyak ditemukan di Kaimana,Papua Barat,” kata Kepala Balai Arkeologi Jayapura, Papua, Drs.M.Irfan Mahmud,M.Si, di Jayapura. Dari hasil penelitian yang dilakukan tim Balai Arkeologi Jayapura, di Distrik Kaimana, motif-motif lukisan secara garis besar berupa manusia, fauna, flora, geometris dan benda-benda hasil budaya manusia, misalnya perahu, bumerang, tombak, tapak batu, penokok sagu dan topeng.
Motif manusia berupa gambar manusia, cap tangan, antropomorfik dan matuto. Sedangkan, fauna berbentuk kadal, ikan, penyu, buaya , kuskus, ular, burung, udang dan kuda laut. Sementara itu, matahari, segi empat dan lingkaran merupakan sebagian besar motif geometris. “Motif-motif ini tersebar di beberapa desa dengan ketinggian ceruk dan tebing karang pada 3 hingga 5 meter di atas permukaan laut,” kata Irfan. Penelitian tersebut menetapkan beberapa situs arkeologi seni cadas di tiga desa, yaitu Desa Marsi, Maimai dan Namatota.
Salah satu situs di Desa Marsi adalah Situs Tanjung Bicari. Di situs ini ditemukan lukisan antropomorfik, ikan dan titik-titik bewarna merah dan kuning. Sementara itu, motif yang lebih beragam dengan bentuk buaya, sontong, kadal, kuskus, geometris, matuto dan tombak dijumpai di Situs Omborecena, Desa Maimai.
c. Cerita adanya lukisan gua
“Orang-orang tua dahulu memandang lukisan cadas dibuat oleh setan-setan,” ujarnya. Oleh karena itu, setiap mereka melewatinya, wajib memberikan sesajen berupa sirih dan pinang yang dilemparkan ke tanjung demi keselamatan atau terhindar dari bahaya.
Adapun pendapat yang lain mengatakan, lukisan dinding merupakan tanda keberadaan Suku Mairasi, sedangkan klan Watora menyatakan, lukisan telapak yang berada di tebing-tebing di daerah tersebut adalah tempat persinggahan nenek moyang mereka ketika pindah ke Tanjung Bicari. Sejak sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan penelitian dan pengembangan Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 89 situs yang sangat berharga, baik dari segi pendidikan dan budaya maupun wisata sejarah. Situs-situs ini ada yang merupakan sisa-sisa aktivitas manusia jaman megalitikum, makam Islam dan Cina serta peninggalan jaman kolonial ketika pasukan sekutu dan Jepang menjadikan Pulau Papua sebagai palagan Perang Dunia II.
Seni Cadas yang terdapat di Papua bagian barat, yakni disekitar Teluk Seireri dan Danau Sentani, telah diteliti oleh K.W. Gailis. Sebagian lukisan yang ditemukan dalam bentuk abstrak, yaitu berupa lukisan lengkung, spiral, serta hewan melata yang distilir. Di dalam gua berlukis ini, terutama yang terletak di tepi danau, sungai, dan laut, sering dijumpai tulang-tulang manusia. Tidak dijelaskan mengenai jenis dan ras, serta keturunannya, apakah mereka termasuk pendukung dari budaya lukisan tersebut.
d. Arti Warna dan gaya lukisan
• Warna lukisan
Sesuai dengan hasil penelitian, Roder kemudian memilah-milah lukisan tersebut kedalam beberapa kelompok berdasarkan warna dan gayanya. Ia berpendapat bahwa warna merah lebih tua dari pada warna hitam, dan warna hitam lebih tua dari pada warna putih. Ketiga warna ini sering dijumpai saling tumpang tindih secara berurutan, yaitu mula-mula warna merah tertutup warna hitam, dan warna hitam juga tertutup warna putih. (Marwati Djoened Poesponegoro: 2008. 198-199).
• Gaya lukisan
Menurut gayanya, Roder mengelompokan lukisan-lukisan Irian Jaya sebagai berikut:
• Gaya Tubulinetin
• Gaya Mangga
• Gaya Arguni dan Ota I
• Gaya Ota II dan Sosorra
Pada gaya Arguni dan Ota I terdapat lukisan yang sepenuhnya berwarna hitam, gaya Ota II dan Sosorra menampilkan lukisan perahu dengan disertai adat penempatan mayat di depan gua-gua. Sebagian besar lukisan yang ditemukan itu berwarna merah. Terdapat juga lukisan yang menyerupai manusia dan biantang; manusia dengan topi yang lancip, orang yang berjongkok dengan tangan di angkat, dan gambar kadal sebagai gambar nenek moyang.
• Makna yang tersimpan
Menurut pendapat masyarakat yang tersebar di area sekitarnya, gambar binatang itu disebut matuto dan dianggap sebagai pahlawan nenek moyang, dan karena itu sampai sekarang di tempat-tempat mengandung lambang itu masih dilakukan upacara dan tari-tarian. Dikatakan juga cap tangan tersebut mempunyai kekuatan pelindung dan pencegah kekuatan jahat. Para perempuan dilarang menyaksikan lukisan-lukisan ini. Selain cap tangan dan bentuk gabungan antara manusia dan binatang, terdapat juga lukisan orang dengan perisai dan boomerang, burung dan perahu. Gambar-gambar kemudian menjadi suatu perhiasan dalam upacara penguburan, di atas dinding kayu, perisai dan manik-manik.
Melihat analisis Reinach dan Begeuen yang berusaha menganalisis lukisan gua dari segi kesuburan dan upacara kepercayaan, jelas bahwa gua-gua yang tersebar di wailayah Papua ini nampak sebagai bagian dari itu semua. Gua-gua yang ada di Papua berusaha untuk menjelaskan kegiatan sehari-hari mereka baik yang berhubungan dengan sosial-ekonomi maupun yang berhubungan dengan masalah kepercayaan.
Lukisan gua merupakan sebuah bentuk perwakilan ekspresi diri manusia pada masa itu, mereka berusaha mengabadikan semua kegiatanya yang dilakukannya dalam bentuk coretan dinding gua atau oleh masyarakat sekarang bisa dikatakan sebagai bagian dari lukisan gua.
Lukisan gua bisa dikatakan sebagai referensi manusia sekarang untuk melihat sebagaimana tingkat kecerdasan manusia pada masa itu. Dengan melihat dinding gua yang ada, kita bisa mengasumsikan bahwa manusia yang tinggal di kepulauan Nusantara ternyata telah memiliki nilai dan kemampuan kebudayaan yang tinggi pada masa itu, ini terbukti dengan banyak ditemukan benda-benda praaksara yang menandakan mereka telah mampu menciptakan sesuatu yang menggambarkan kehidupannya (Lukisan gua). Lukisan gua ini salah satu dari peninggalan pada masa prasejarah yang masih bisa kita nikmati dan pelajari makna dibalik pembuatannya.
4. Lukisan Gua Sulawesi Tenggara
Kekayaan alam lain yang terdapat di Sulawesi, khususnya Sulawesi Tenggara adalah lukisan gua. Lukisan gua dan ceruk di Sulawesi Tenggra terdapat di Mentanduro, La Kabori, Kolumbo, Toko, dan wa Bose, sedangkan ceruk-ceruknya adalah La Sabo, Tangga Ara, La Nasrofa, dan Ida Malangi. Semua peninggalan ini terdapat di sekitar kawasan perladangan Liabalano, Kampung Mabolu, Desa Bolo, Kecamatan Kotobu.
Kompleks seni cadas di Pulau Muna rupanya menunjukan tingkat perbedaan yang signifikan, tidak saja perihal teknik penggambaran serta warna yang digunakan, tetapi juga polanya yang bervariasi. Lukisan gua yang terdapat di Pulau Muna memiliki warna coklat yang terbuat dari tanah liat. Hal yang menarik dari lukisan yang terdapat di Pulau Muna adalah tidak diketemukan pola cap tangan sebagaimana lukisan-lukisan yang lainnya.
a. Gua Metanduro
Menggambarkan pola manusia, kuda, rusa, babi, anjing, ular, lipan, perahu, matahari, dan bentuk-bentuk Geometrik. Suatu adegan berburu memperlihatkan pemburu sedang menancapkan ke punggung rusa, sementara dibelakangnya dua ekor anjing mengikutinya. Pola ini menunjukan bahwa pada masa itu masyarakatnya sudah menggunakan tombak sebagai alat berburu dan sudah menggunakan hewan peliharaan seperti anjing untuk membantu perburuan. Sedangkan pola ular dan lipan sebagai lambang peringatan kepada manusia agar lebih berhati-hati karena keduanya berbahaya bagi manusia. Kecuali sebagai pemburu, pola manusia di gua ini juga berperan sebagai perajurit yang sedang bertempur, baik di darat dengan menaik kuda maupun dilaut dengan menaik perahu panjang serta membawa tombak, senjata tajam panjang, serta perisai.
b. Gua Kobori
Memiliki pola yang sama dengan pola gua Metanduro, kecuali babi, ular dan lipan tidak terdapat di sini. Disini peranan manusia tidak hanya sebagai pemburu atau prajurit, tetapi juga sebagai penari dan bahkan mampu terbang seperti burung. Peran yang terakhir ini dibuktikan dengan adanya gambar manusia yang memiliki cakar pada tangan dan kakinya. Adegan menari masih dapat dikaitkan dengan unsur profan dan sakral, yang ada hubungannya dengan kesejahtraan hidup masyarakat. Sebaliknya, untuk pola manusia terbang atau manusia burung dianggap mengandung gambaran buruk dan jahat terhadap orang lain untuk selalu mencelakakannya karena mereka memiliki ilmu sihir atau ilmu hitam.
Pola yang dianggap spektakuler ditinjukan oleh perahu dengan layar berbentuk persegi panjang dan pola nyaris vertikal, memiliki dayung dan kemudi, serta di dalamnya terdapat beberapa awak perahu. (Marwati Djoened Poesponegoro; 2008, 192).
Melihat pada bentuk dasarnya, perahu tersebut sudah memperoleh sentuhan teknologi modern yang mungkin dikembangkan mulai abad-abad masehi. Yang patut kita perhitungkan dalam gambar kapal ini adalah kemampuan para awak kapalnya, yang sudah memiliki ilmu pelayaran atau navigasi pada zamannya. Kalau melihat bentuknya, perahu tersebut diperkirakan merupakan perahu niaga atau untuk mencari ikan.
c. Gua Wa Bose
Gua We Bose mempunyai lukisan gua yang berbentuk genital atau kelamin perempuan, lukisan ini memiliki makna yang erat sekali dengan kesuburan. Pola unik lainnya ditemukan di Gua Toko, yang menampilkan bentuk pohok kelapa dan jagung, yang secara harfiah menggambarkan pola yang bermakna sosial-ekonomi atau erat hubunganya dengan sistem mata pencaharian.
d. Gua Toko
Berada pada bukit setinggi 30 meter dari permukaan tanah. Objek lukisan yang dominan pada dinding gua adalah manusia dan penunggang kuda, sedangkan bentuk yang dikatakan unik adalah lukisan pohon kelapa dan pohon jagung. Kedua jenis gambar ini menunjukan bahwa nenek moyang masyarakat Pulau Muna sudah mengenal sistem pertanian atau tradisi bercocok tanam pada masa lampau.
e. Ceruk La Sabo
Terletak di jalur jalan setapak antara Gua Mentanduno dan kampung Mabolu. Ceruk ini panjangnya kira-kira 31 meter dengan arah barat-timur menghadap ke selatan. Lukisan yang ada di Ceruk La Sabo menggambarkan pola manusia dan hewan yang terdiri dari rusa, anjing dan musang serta satu-satunya perahu. Adegan perburuan memperlihatkan seorang pemburu sedang membidikan senjatanya ke arah sekelompok rusa jantan dan betina yang sedang berlari untuk menyelamatkan diri. Adegan lainnya menunjukan dua ekor rusa jantan sedang berkelahi, kemudian dinding yang berikutnya menampilkan gambar rusa, perahu, dan anjing, dan diujung timur ceruk terdapat pola hewan yang secara fisik memiliki ciri-ciri jenis musang.
f. Ceruk Tangga Ara
Jika dibandingkan dengan Ceruk La Sabo, Ceruk Tangga Ara memiliki ukuran lebih besar dan tinggi, tetapi pendek. Meskipun demikian, ternyata ceruk ini hanya memiliki beberapa lukisan dengan pola manusia dan kuda. Penyebab dari sedikitnya lukisan yang terdapat di Caruk ini tidak terlepas dari keadaan dinding yang kasar dan tidak rata, sehingga menyulitkan untuk mencantumkan gambar pada permukaan. Bentuk lukisan terlihat kurang sempurna, tetapi secara sepintas adegannya dapat diketahui, antara lain gambar prajurit sedang memegang senjata tajam dan perisai, penunggang kuda, serta perkelahian satu lawan satu dengan menggunakan jenis senjata yang sama.
g. Ceruk La Nasrofa
Letaknya berhadapan dengan Gua La Kolumbu, jaraknya kurang lebih sekitar 75 meter. Ceruk tersebut berada pada sebuah tebing bukit yang terjal, dengan ketinggian sekitar 20 meter dari permukaan tanah. Pada dinding yang terjal itu tampak ada lukisan, antara lain individu manusia, penunggang kuda dan pemburu.
h. Celuk Ida Malangi
Celuk ditemukan pada tahun 1984, berada di sebelah timur Gua Metanduno jaraknya sekitar 50 meter menghadap ke arah barat daya. Ceruk Ida Malangi hanya memiliki tujuh buah lukisan yang terdiri dari individu manusia, prajurit, penunggang kuda, lukisan belum jelas bentuknya dan lukisan belum selesai.
Lukisan gua-gua yang berada di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara telah diteliti oleh E.A. Kosasih pada tahun 1977. Gaya lukisan yang ada Nampak berbeda dengan gua yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah Maros. Cap jari tangan pada lukisan gua di Maros nampak tidak diketemukan pada lukisan gua di Pulau Muna. Sedangkan hal yang nampak dilukiskan pada gua-gua di sekitar Pulau Muna antara lain, manusia dalam berbagai sikap (seperti naik kuda, memegang tombak atau pedang, dan berkelahi), binatang (kuda, buaya, rusa, anjing, kadal dan sebagainya), serta matahari dan perahu yang dinaiki orang. Manusia dilukiskan dalam gua-gua di Pulau Muna dengan anggota badan atas dan bawah dibentangkan ke samping. Warna yang mendominasi dinding gua pada lukisan di Pulau Muna adalah warna coklat.
i. Penggambaran Kehidupan
Penggambaran yang tertela dalam lukisan ini merupakan sebuah bukti adanya kehidupan manusia pada masa itu yang sudah memiliki kemampuan seni dan pemikiran tentang simbol-simbol kehidupan. Manusia prasejarah mengabadikan kehidupannya lewat sebuah lukisan gua, ini semua sebenarnya memiliki kesamaan dengan manusia sekarang yaitu sama-sama mencatat gerak-gerik kehidupannya, tetapi pada masa itu hanya terbatas pada lukisan sedangkan pada masa sekarang jauh lebih kompleks.
5. Lukisan Gua Kalimantan
Penelitian tentang peninggalan zaman prasejarah terus dilakukan, Balai Arkeologi Banjarmasin sudah merintis penelitian tentang peninggalan lukisan gua di Kalimantan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas kehidupan manusia pada zaman prasejarah, dan dijadikan sebagai pengetahuan bagi manusia sekarang. Salah satu gua yang menjadi kajian adalah Gua Babi, dimana di dalamnya ditemukan sisa-sisa aktivitas hunian manusia.
a. Gua yang memiliki lukisan
Penelitian terhadap gua-gua yang ada lukisannya baru dilakukan pada tahun 1996. Gua tersebut berada di kawasan Tanjung Mangkalihat, Kecamatan Sangkulirang, kabupaten Kutai Timur (Kalimantan Timur). Dari beberapa gua yang ada di kawasan tersebut, delapan gua ternyata memiliki lukisan yang bervariasi, yaitu Gua Mardua, payau, Liang Sara, Masri, Ilas Keceng, Tewet, Tamrin, dan Ham.
b. Pola lukisan
Pola lukisan gua yang dominan adalah cap tangan, yang tampaknya sama dengan cap tangan yang ada di kompleks Maros dan kompleks Pangkajene, Sulawesi Selatan. Pola berikutnya antara lain banteng dan tapir yang sudah punah ribuan tahun yang lalu, kemudian babi, rusa, tumbuh-tumbuhan, bentuk geometrik, serta manusia yang berperan sebagai pemburu dan penari. Pola bentuk dan pola lukisan menunjukan adanya kelas sosial pada masyarakat pendukungnya yang berkembang pada waktu itu, baik yang mengandung makna sosial-ekonomi maupun religis-magis.
Seni cadas yang paling menarik adalah Gua Tamrin dan Gua Ham karena begitu banyak gambar di dalamnya. Gua Tamrin terletak di dekat sungai Marang, memiliki sejumlah lukisan penari bertopeng yang menutupi seluruh bagian kepalanya. Lukisan tersebut mirip dengan tarian adat yang masih berlangsung pada beberapa suku di Papua. Sementara itu, di Gua Ham ditemukan pola cap seperti penari, tapir, rusa dan tumbuh-tumbuhan. Chazine berpendapat bahwa pola cap tangan yang di jumpai di dalam gua tersebut merupakan yang paling banyak di dunia.
C. Bahan pembuat Lukisan Gua
Ribuan tahun telah berlalu sejak lukisan gua ini dibuat, kini lukisan dinding gua telah banyak mengalami kerusakan karena proses pelapukan dan pengelupasan kulit batuan terus berlanjut. Lukisan pada dinding gua prasejarah umumnya mengalami kerusakan yang sama, selain terjadi pengelupasan juga terjadi retakan mikro dan makro. Di samping itu di beberapa tempat warna lukisan memulai memudar terutama lukisan yang terletak di bagian dinding depan mulut gua. Demikian pula proses inkrastasi (pengendapan kapur) terus berlanjut, hampir semua gua terjadi proses pengendapan kapur pada kulit batuan gua, coretan spidol dan goresan benda tajam juga banyak dijumpai (Said, dkk, 2007).
Meskipun banyak yang telah mengalami kerusakan, keberadaan lukisan prasejarah yang mampu bertahan selama puluhan ribu tahun tersebut sangat menggugah untuk dikaji. Banyak pertanyaan yang timbul mengenai lukisan tersebut, mulai dari bahan yang digunakan, metode peramuan dan aplikasinya, hingga interaksinya dengan dinding gua dan lingkungan sehingga mampu bertahan dalam kurun waktu yang sangat lama.
Pengetahuan mengenai bahan lukisan tersebut sangat penting untuk dikaji secara mendalam sebagai bagian dari usaha konservasi. Berbagai manfaat dapat diambil apabila pertanyaan mengenai bahan yang digunakan pada lukisan tersebut dapat terungkap. Manfaat tersebut antara lain dapat diketahui interaksi bahan tersebut dengan dinding dan lingkungan, sehingga dapat digunakan untuk merumuskan metode konservasinya. Manfaat yang lain adalah dapat dijadikan acuan dalam melakukan restorasi lukisan yang hilang atau mengelupas jika diperlukan. dan yang lebih penting adalah dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan untuk mengungkap pola kehidupan masa lalu dan kearifan budayanya.
Sulitnya mengungkap bahan yang digunakan pada lukisan menyebabkan hingga saat ini belum ada statemen yang pasti mengenai jenis bahan lukisan maupun cara aplikasinya. Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan adalah laporan survey, serta laporan studi konservasi dan observasi yang dilakukan oleh Samidi (1985 dan 1986).
Meskipun tidak secara langsung menyebut bahan lukisan terbuat dari hematit, Samidi telah menggunakan hematit sebagai pigmen pengganti. Dengan kata lain Samidi telah menduga bahwa bahan pewarna lukisan yang digunakan adalah hematit. Pemilihan hematit sebagai bahan pewarna oleh Samidi didasarkan pada masyarakat tradisional Toraja yang menggunakan hematit untuk membuat pewarna pada hiasan rumah adat. Beberapa peneliti terdahulu juga telah menyebutkan dugaan warna merah berasal dari hematit. Dugaan ini didasarkan atas temuan hematit yang terdapat di Leang Burung 2 dan Pattae. Temuan hematit di Leang Burung 2 diperoleh pada penggalian yang dilakukan oleh I.C. Glover pada tahun 1973. Hematit ini ditemukan pada berbagai lapisan bersama-sama dengan temuan batu inti dan alat serut. Hematit yang ditemukan berupa pecahan seperti batu merah dan tampak adanya alur-alur yang diduga sebagai akibat dari usaha manusia untuk memanfaatkannya (Glover, 1981 dalam Restiyadi, 2007). Hematit di Leang Pattae ditemukan oleh Van Hekeren tahun 1950.
Hematit bukanlah perwarna instant yang siap dipakai, akan tetapi diperlukan sebuah proses pengolahan terlebih dahulu yaitu proses dari hematit padat ke pewarna cair. Melalui temuan hematit dan adanya tanda-tanda pengerjaan yang ditemukan oleh Glover dan Hekeren, dapat diduga adanya persiapan-persiapan (pra produksi) sebelum produksi lukisan gua (Restiyadi, 2007). Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Sadirin (1998). Pada penelitian tersebut dicoba usaha untuk membuat dugaan campuran yang digunakan dengan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan (sirih, gambir, dan pinang). Hasil penelitian yang menggunakan bahan-bahan alami tumbuh-tumbuhan tersebut pada awalnya cukup baik, namun tidak dapat bertahan lama. Dalam waktu beberapa bulan sudah memudar.
Berdasarkan hasil observasi dilapangan diperkirakan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sebuah lukisan adalah sebagai berikut:
- Bahan pewarna (pigmen) yang digunakan berasal dari mineral merah (hematit ?) yang banyak terdapat di sekitar situs.
- Bahan pengikat yang digunakan agar dapat melekat dengan kuat pada dinding karst adalah bahan alami yang bersifat asam (sedikit asam). Bahan pengikat tersebut tidak bersifat seperti perekat tetapi menggunakan prinsip pembentukan stalaktit di atas. Yaitu bahan asam bereaksi dengan dinding karst menyebabkan permukaan karst yang berkontak dengan larutan pewarna menjadi larut sementara, kemudian mengeras kembali dan bahan warna terikat (berinteraksi secara kimia).
- Bahan alami bersifat asam dapat berupa berbagai ekstrak tumbuhan, pada umumnya ekstrak tumbuhan memang bersifat asam. Jenis vegetasi endemik yang hampir selalu dijumpai di setiap situs yaitu buah asam dan air buah lontar. Sebagai perbandingan diuji juga larutan asam cuka, serta ekatrak gambir dan pinang.
Penemuan di lima tempat berlainan dekar Ramasokat, ditemukan lukisan pada dinding karang yang terdiri dari dua kelompok yang berlainan. Pertama, kelompok lukisan dengan warna merah yang sudah rusak, Kedua adalah lukisan berwarna putih dengan keadaan masih baik. Menurut pendapat Roder, lukisan ini mengindikasikan bahwa warna ini mengindikasikan tua mudanya lukisan. Roder berpendapat bahwa lukisan yang berwarna merah lebih tua dari lukisan yang berwarna putih. Lukisan-lukisan ini berupa cap tangan, gambar kadal, manusia dengan perisai, dan orang dalam keadaan sikap jongkok sambil mengangkat tangan, yang semuanya berwarna merah. Sedangkan lukisan yang berwarna putih adalah lukisan-lukisan yang berupa lukisan burung dan perahu.
E. Nilai-nilai yang terkandung
Sebagaimana telah disebut pada bagian atas bahwa lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua di Sulawesi Selatan tidak hanya cap tangan. Namun, demikian yang sangat menarik perhatian para peneliti prasejarah adalah cap tangan. Van Heekeren (1952), Soejono (1977) dan Kosasih (1983) mengatakan bahwa tujuan pembuatan lukisan itu ada kaitannya dengan kepercayaan mereka (bersifat religius). Artinya, karya seni tersebut dibuat tidak terkait langsung dengan tujuan artistik (menambah keindahan suatu objek yang dilukis), tetapi suatu usaha untuk dapat berkomunikasi dengan kekuatan supranatural. Oleh karena itu, para peneliti memperkirakan bahwa ide melukis dinding gua pada awalnya merupakan suatu permohonan kepada kekuatan tertentu agar apa yang dikehendaki dapat tercapai, sesuai dengan apa yang dilukis. Mengenai lukisan cap tangan itu sendiri, Van Heekeren (1952) mengatakan bahwa lukisan itu ada hubungannya dengan upacara kematian dan kehidupan di alam lain (kehidupan setelah mati). Lebih jauh, Van Heekeren (1952), dengan menggunakan studi etnoarchaelogy, mengaitkan antara cap tangan dan religi. Ia menyatakan bahwa cap tangan menggambarkan suatu perjalanan arwah yang telah meninggal yang sedang meraba-raba menuju ke alam arwah. Selain itu, cap tangan juga merupakan suatu tanda bela sungkawa dari orang-orang yang dekat dengan yang mati.
Umumnya lukisan yang ada di dinding gua-gua yang terdapat di Sulawesi Selatan berada pada tempat yang sulit dijangkau oleh tangan manusia (mendekati atap gua), sebagaimana yang terdapat di gua Leang-leang (Kabupaten Maros) dan gua Garunggung (Kabupaten Pangkep).
a. Reinach
Berusaha menganalisis pada sympathetic magic, yakni keyakinan akan adanya keuatan dalam berburu (hanting magic), dan keyakinan akan adanya kekuatan dalam aspek kesuburan (fertility magic). Lukisan yang dapat dilihat berdasarkan Sympathetic Magic yang ada di kepulauan Maluku adalah lukisan yang ada di Di Kampung Dudumahan, pantai utara Pulau Nuhu Rowa. Salah satu lukisannya dianggap unik adalah pola manusia berjenis kelamin wanita dengan alat kelamin mencolok. Dari sini berdasarkan Sympathetic Magic bisa dikatakan berhubungan dengan masalah kesuburan. Kesuburuan menjadi salah satu harapan manusia dalam hidupnya, manusia selalu mencari kesuburan baik dari segi alam maupun kelahiran. Kesuburan ini menjadi salah satu indikator manusia mampu bertahan hidup di dunia.
b. Begeuen
Menganalisis dari segi rites magic yaitu kekuatan gambar-gambar binatang dan manusia dalam satu ritual upacara magis. Berusaha lukisan-lukisan dari rites magic dimana manusia selalu mengadakan ritual-ritual upacara yang berhubungan dengan sebuah keyakinan kepada sang pencipta. Luksian gua yang menggambarkan tentang rites magic terdapat dalam gua Pulau Seram dan Kepulauan Kei, di gua ini banyak gambar-gambar manusia, binatang, matahari dll. Pembuatan lukisan ini menunjukan bahwa manusia pada masa itu berusaha untuk menujukan tingkat kecerdasan kemampuan mereka dalam melaksanakan kepercayaannya. Kepercayaan merupakan sebuh dasarnya suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Kepercayaan ini menjadi sebuah landasan manusia untuk menjalankan hidupnya, maka untuk itu manusia pada masa itu berusaha untuk mengabadikan hal-hal yang berhubungan dengan sebuah kepercayaan masyarakat.
Semua yang digambarkan dalam lukisan gua pada masa prasejarah merupakan sebuah bentuk refleksi dari kehidupan yang di jalani pada masanya. Kehidupan mereka selalu tergantung pada alam dan alam merupakan tempat bagi mereka untuk menggantukan hidupnya. Gua sebagai tempat mereka berteduh dan beristirahat atau sebagai tempat tinggal dijadikan sebuah sebagai salah satu tempat untuk mengekpresikan perjalanan hidup. Lukisan ini merupakan sebuah perwakilan kata-kata manusia pada masa itu yang ingin disampaikan kepada segenap masyarakatnya dan akhirnya menjadi bukti bagi manusia sekarang untuk mempelajarinya sekaligus merupakan inspirasi bagi seniman-seniman lukis untuk membuat sebuah karya lukisan dalam bentuk dan bahan yang berbeda.
F. Nilai Budaya
Lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua yang ada ini bukan sekedar lukisan, karena lukisan itu diselimuti oleh suasana sakral dan religius. Melalui lukisan seseorang dapat berkomunikasi dengan kekuatan yang lebih tinggi (supranatural). Sehingga apa yang diharapkan dapat dikabulkan. Lukisan cap tangan juga bukan hanya sekedar lukisan, tetapi merupakan simbol belangsungkawa dan perjalanan dalam “dunia lain”. Ini artinya bahwa lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua memiliki nilai religious dan sosial-ekonomi. (gufron)
Kepustakaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Melalatoa, J. (1995). Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A-K. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kosasih, S.A. (1983). Lukisan Gua di Indonesia sebagai Data Sumber Penelitian arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta, hal 158-175,
Linda, (2005). Tata Letak Lukisan Dinding Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM
Poesponegro, marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I “Zaman Prasejarah di Indonesia“. Jakarta: Balai Pustaka
Restiyadi, Andri. (2007). “Diskursus Cap Tangan Negatif Interpretasi Terhadap Makna dan Latar Belakang Penggambarannya di Kabupaten Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan” dalam Artefak Edisi XXVIII. Yogyakarta : Hima UGM
Samidi, (1985). Laporan Hasil Survey Konservasi Lukisan Gua Sumpang Bita dan Pelaksanaan Konservasi Lukisan Gua Pettae Kerre. Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan
Samidi, (1986). Laporan Konservasi Lukisan Perahu/ Sampan si Gua Sumpang Bita (Tahap Awal) dan Konservasi Lukisan Babi Rusa di Gua Pettae Kerre (Penyelesaian). Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.
…………..”Lukisan Cap Tangan pada Dinding-dinding Gua di Sulawesi Selatan”. [Online]. Terdapat di. http://uun-halimah.blogspot.com/2008/05/lukisan-cap-tangan-pada-dinding-dinding.html [26-11-09]
….………. (2008). “MISTERI BAHAN LUKISAN PRASEJARAH MAROS-PANGKEP”. [Online]. Terdapat di. http://konservasiborobudur.org/?p=86 [26-11-09]
1 komentar:
terima kasih...artikelny informatif dan sangat memabntu.. salute :)
Posting Komentar