Kehidupan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam - Kehidupan manusia setelah masa berburu dan mengumpulkan makanan adalah masa bercocok tanam. Bagaimanakah proses perkembangan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam?
a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan.
Perkembangan itu dapat disebabkan karena ada interaksi antara manusia
dengan manusia dan manusia dengan alam. Ketika kebutuhan hidup manusia
terpenuhi oleh alam, manusia tidak perlu susah-susah membuat dan
mengolah makanan. Manusia cukup mengambil dari alam, karena alam banyak
menyediakan kebutuhan manusia, terutama makanan. Makanan itu antara lain
buah-buahan dan binatang buruan. Kehidupan awal manusia sangat
tergantung dari alam. Ketika alam sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan
hidup manusia, yang disebabkan populasi manusia bertambah dan sumber
daya alam berkurang, maka manusia mulai memikirkan bagaimana dapat
menghasilkan makanan.
Manusia harus mengolah alam. Pada masa
ini kehidupan manusia berkembang dengan mulai mengolah makanan dengan
cara bercocok tanam. Karena manusia sudah beralih pada tingkat kehidupan
bercocok tanam, maka pola hidupnya tidak lagi nomaden atau
berpindah-pindah. Manusia sudah mulai menetap di suatu tempat, yang
dekat dengan alam yang diolahnya. Binatang buruan pun sudah ada yang
mulai dipelihara. Dengan demikian, bercocok tanam dan beternak sudah
berkembang pada masa ini. Alam yang dipakai untuk bercocok tanam adalah
hutan-hutan. Hutan itu ditebang, dibersihkan, kemudian ditanami dengan
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, atau pepohonan lainnya yang dibutuhkan
oleh manusia atau masyarakat. Cara yang mereka lakukan masih sangat
sederhana. Berhuma merupakan cara bercocok tanam yang sangat sederhana.
Karena berhuma memerlukan tempat yang subur, maka ketika tanah itu sudah
tidak subur, mereka akan mencari daerah baru. Dengan demikian hidup
mereka berpindah ke tempat baru untuk waktu tertentu, dan begitu
seterusnya.
b. Alat-alat yang dihasilkan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Peralatan pada masa bercocok tanam masuk
pada zaman mesolithikum (zaman batu pertengahan) dan neolithikum (zaman
batu muda). Namun demikian alat-alat yang dihasilkan pada masa berburu
dan mengumpulkan makanan atau zaman palaeolithikum tidak ditinggalkan.
Alat-alat itu masih dipertahankan dan dikembangkan, seperti alat-alat
dari batu sudah tidak kasar lagi tapi sudah lebih halus karena ada
proses pengasahan. Berikut ini alat-alat atau benda-benda yang
dihasilkan pada masa bercocok tanam.
1) Kjokkenmoddinger Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa bercocok tanam,
manusia purba sudah tinggal menetap. Salah satu bukti adanya sisa-sisa
tempat tinggal itu ialah kjokkenmoddinger (sampah-sampah
dapur). Istilah ini berasal dari bahasa Denmark (kjokken = dapur,
modding = sampah). Penemuan kjokkenmoddinger yang ada di pesisir pantai
Sumatera Timur menunjukkan telah adanya penduduk yang menetap di pesisir
pantai. Hidup mereka mengandalkan dari siput dan kerang. Siput-siput
dan kerang-kerang itu dimakan dan kulitnya dibuang di suatu tempat.
Selama bertahun-tahun, ratusan tahun, atau ribuan tahun, bertumpuklah
kulit siput dan kerang itu menyerupai bukit. Bukit kerang inilah yang
disebut kjokkenmoddinger.
Gambar 4.5 Pebble dari kjokkenmoddinger di Sumatera Timur
Di tempat kjokkenmoddinger ditemukan juga alat-alat lainnya, seperti pebble (kapak
genggam yang sudah halus), batu-batu penggiling beserta landasannya,
alat-alat dari tulang belulang, dan pecahan-pecahan tengkorak.
2) Abris Sous Rosche Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Selain Kjokkenmoddinger, jenis tempat tinggal lainnya ialah abris sous rosche, yaitu
tempat berupa gua-gua yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang.
Peralatan yang ditemukan berupa ujung panah, flakes, batu-batu
penggiling, dan kapak-kapak yang sudah diasah. Alat-alat itu terbuat
dari batu. Ditemukan juga alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Tempat
ditemukannya abris sous rosche, antara lain Gua Lawa di Ponorogo, Bojonegoro, dan Lamoncong (Sulawesi Selatan).
Gambar 4.6 Abris sous rosche di Lamoncong, Sulawesi Selatan
3) Gerabah Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan manusia mengolah makanan. Hal ini dikarenakan fungsi gerabah
di antaranya sebagai tempat meyimpan makanan. Gerabah merupakan suatu
alat yang terbuat dari tanah liat kemudian dibakar. Dalam perkembangan
berikut, gerabah tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan makanan, tetapi
semakin beragam, bahkan menjadi barang yang memiliki nilai seni. Cara
pembuatan gerabah mengalami perkembangan dari mulai bentuk yang
sederhana hingga ke bentuk yang kompleks. Dalam bentuk yang sederhana
dibuat dengan tidak menggunakan roda. Bahan yang digunakan berupa
campuran tanah liat dan langsung diberi bentuk dengan menggunakan
tangan. Teknik pembuatan semakin berkembang, pencetakan menggunakan
roda, agar dapat memperoleh bentuk yang lebih baik bahkan lebih indah.
Dalam perkembangan ini, pencetakan sudah memiliki nilai seni. Sisi
gerabah mulai dihias dengan pola hias dan warna. Hiasan yang ada di
antaranya hiasan anyaman. Untuk membuat hiasan yang demikian yaitu
dengan cara menempelkan agak keras selembar anyaman atau tenunan pada
gerabah yang masih basah sebelum gerabah dijemur. Kemudian gerabah
dijemur sampai kering dan dibakar. Berdasarkan bukti ini, para ahli
menyimpulkan bahwa pada masa ini manusia sudah mengenal bercocok tanam
dan orang mulai dapat menenun.
Gambar 4.7 Gerabah (Sumber : itrademarket.com/all/gisj/o.html)
4) Kapak persegi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Pemberian nama kapak persegi didasarkan pada bentuknya. Bentuk kapak ini
yaitu batu yang garis irisannya melintangnya memperlihatkan sebuah
bidang segi panjang atau ada juga yang berbentuk trapesium. Jenis lain
yang termasuk dalam katagori kapak persegi seperti beliung atau pacul
untuk yang ukuran besar, dan untuk ukuran yang kecil bernama tarah.
Tarah berfungsi untuk mengerjakan kayu. Pada alat-alat tersebut terdapat
tangkai yang diikatkan. Orang yang pertama memberikan nama Kapak
Persegi yaitu von Heine Geldern.
Gambar 4.8 Berbagai jenis kapak persegi
Daerah-daerah tempat ditemukannya kapak
persegi yaitu di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi,
dan Kalimantan. Batu api dan chalcedon merupakan bahan yang
dipakai untuk membuat kapak persegi. Kapak persegi kemungkinan sudah
menjadi barang yang diperjualbelikan. Alat ini dibuat oleh sebuah pabrik
tertentu di suatu tempat kemudian di bawa keluar daerah untuk
diperjualbelikan. Sistem jual-belinya masih sangat sederhana, yaitu
sistem barter. Adanya sistem barter tersebut, kapak persegi banyak
ditemukan di tempat-tempat yang tidak banyak ada bahan bakunya, yaitu
batu api.
Gambar 4.9 Kapak persegi yang belum dihaluskan
5) Kapak lonjong Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Pemberian nama kapak lonjong berdasarkan pada bentuk. Bentuk alat ini
yaitu garis penampang memperlihatkan sebuah bidang yang berbentuk
lonjong. Sedangkan bentuk kapaknya sendiri bundar telor. Ujungnya yang
agak lancip ditempatkan di tangkai dan di ujung lainnya yang bulat
diasah hingga tajam. Ada dua ukuran kapak lonjong yaitu ukuran yang
besar disebut dengan walzeinbeil dan kleinbel untuk
ukuran kecil. Kapak lonjong masuk ke dalam kebudayaan Neolitihikum
Papua, karena jenis kapak ini banyak ditemukan di Papua (Irian). Kapak
ini ditemukan pula di daerah-daerah lainnya, yaitu di Seram, Gorong,
Tanimbar, Leti, Minahasa, dan Serawak.
Gambar 4.10 Kapak lonjong dari muka dan samping
Selain di Indonesia, jenis kapak lonjong
ditemukan pula di negara lain, seperti Walzeinbeil di temukan di Cina
dan Jepang, daerah Assam dan Birma Utara. Penemuan kapak lonjong dapat
memberikan petunjuk mengenai penyebarannya, yaitu dari timur mulai dari
daratan Asia ke Jepang, Formosa, Filipina, Minahasa, terus ke timur.
Penemuan-penemuan di Formosa dan Filipina memperkuat pendapat ini. Dari
Irian daerah persebaran meluas sampai ke Melanesia.
6) Perhiasan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Hiasan sudah dikenal oleh manusia pada masa bercocok tanam. Perhiasan
dibuat dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar,
seperti hiasan kulit kerang dari sekitar pantai. Hiasan lainnya ada yang
terbuat dari yang dibuat dari tanah liat seperti gerabah, dan ada pula
yang terbuat dari batu. seperti gelang, kalung, dan beliung.
Gambar 4.11 Berbagai perhiasan dari batu
Pembuatan hiasan dari batu dilakukan
dengan cara, pertama batu dipukul-pukul sampai menjadi bentuk gepeng.
Setelah itu kedua sisi yang rata dicekungkan dengan cara dipukul-pukul
pula, kedua cekungan itu bertemu menjadi lobang. Untuk menghaluskannya,
kemudian digosok-gosok dan diasah sehingga membentuk suatu gelang.
Bentuk gelang tersebut dari dalam halus rata dan dari luar lengkung
sisinya. Selain dipukul, cara lain untuk membuat lobang pada gelang
yaitu dengan cara menggunakan gurdi. Batu yang bulat gepeng itu digurdi
dari kedua belah sisi dengan sebuah gurdi dari bambu. Setelah diberi air
dan pasir, bambu ini dengan seutas tali dan sebilah bambu lainnya
diputar di atas muka batu sampai berlubang.
7) Pakaian Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Kebudayaan lainnya yang dimiliki oleh manusia pada masa bercocok tanam
diperkirakan mereka telah memakai pakaian. Bahan yang digunakan untuk
pakaian berasal dari kulit kayu. Daerah tempat ditemukan bukti adanya
pakaian adalah di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat
lainnya. Pada daerah-daerah tersebut ditemukan alat pemukul kulit kayu.
Kulit kayu yang sudah dipukul-pukul menjadi bahan pakaian yang akan
dibuat.
c. Konsep kepercayaan dan bangunan megalit Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia pada zaman berburu dan
mengumpulkan makanan sudah mengenal kepercayaan. Kepercayaan manusia ini
mengalami perkembangan. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan
kepercayaan baru sebatas adanya penguburan. Kepercayaan ini kemudian
berkembang pada masa bercocok tanam dan perundagian. Bukti peninggalan
kepercayaan pada masa bercocok tanam yaitu ditemukannya
bangunan-bangunan batu besar yang berfungsi untuk penyembahan. Zaman
penemuan batu-batu besar ini disebut dengan zaman megalithikum.
Bangunan-bangunan batu yang dihasilkan pada zaman megalithikum antara
lain sebagai berikut.
1) Menhir
Menhir merupakan tiang atau tugu batu yang dibuat untuk menghormati
roh nenek moyang. Daerah-daerah tempat ditemukannya menhir di
Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra
Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan Bali.
Gambar 4.12 Menhir
2) Sarkofagus
Sarkofagus menyerupai peti mayat atau keranda yang bentuknya
seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup. Benda ini terbuat
dari batu sehingga diperkirakan kehadiran sarkofagus sezaman dengan
zaman megalithikum (zaman batu besar). Adanya sarkofagus ini menandakan
kepercayaan pada waktu itu, bahwa orang yang meninggal perlu dikubur
dalam peti mayat. Di daerah Bali, sarkofagus ini banyak ditemukan.
3) Dolmen
Tempat lain untuk melakukan pemujaan pada arwah nenek moyang pada waktu itu ialah Dolmen.
Dolmen ini terbuat dari batu besar yang berbentuk meja. Meja ini
berkaki yang menyerupai menhir. Dolmen berfungsi sebagai tempat sesaji
dalam rangka pemujaan kepada roh nenek moyang. Di beberapa tempat,
dolmen berfungsi sebagai peti mayat, sehingga di dalam dolmen terdapat
tulang belulang manusia. Sebagai bekal untuk yang meninggal, di dalam
dolmen disertakan benda-benda seperti periuk, tulang dan gigi binatang,
dan alat-alat dari besi.
Gambar 4.13 Dolmen
4) Kubur batu
Selain dolmen dan sarkofagus, ditemukan juga kubur batu yang
fungsinya sebagai peti mayat. Bedanya ialah kubur batu ini dibuat dari
lempengan batu, sedangkan dolmen dan sarkofagus dibuat dari batu utuh.
Di daerah Jawa Barat, penemuan kubur batu banyak ditemukan.
Gambar 4.14 Sarkofagus
Gambar 4.15 Sebuah keranda batu berisi kerangka manusia
5) Waruga
Waruga adalah kubur batu berbentuk kubus atau bulat. Bentuknya sama
seperti dolmen dan sarkofagus, yaitu dibuat dari batu yang utuh. Di
Sulawesi Tengah dan Utara banyak ditemukan waruga.
Gambar 4.16 Waruga atau kubur batu banyak ditemui di daerah Minahasa (sumber : www.baliautrement.com/ minahasa.waruga.2jpg)
Gambar 4.17 Kubur batu
6) Punden berundak-undak
Bangunan lainnya yang dihasilkan pada zaman megalithikum adalah punden
berundak-undak. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan yang
berupa batu tersusun secara bertingkat-tingkat. Di tempat punden
berundak-undak biasanya terdapat menhir. Daerah ditemukannya punden
berundak-undak antara lain di Lebak Sibedug (Banten Selatan) dan Ciamis
(Jawa Barat).
Gambar 4.18 Punden berundak-undak dari Lebak Sibedug (Banten Selatan)
7) Arca
Arca ini terbuat dari batu yang berbentuk patung binatang atau manusia.
Tempat ditemukannya arca-arca antara lain di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Selatan.