Jumat, 27 April 2012

Zaman mesolitikum di Indonesia

Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa itu juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana.[2] Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas kebudayaan manusia pada zaman itu.[2]

Kjokkenmoddinger

Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera.[3] Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925 dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut setinggi 7 meter.[3] Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses pembentukan cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.[3] Di antara tumpukan sampah tersebut juga ditemukan batu penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk menghaluskan cat merah.[3] Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau ilmu sihir.[3] Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak genggam yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatera (Sumeteralith) sesuai dengan tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan teksturnya masih kasar.[3] Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache courte (kapak pendek) yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper.[3] Berdasaran pecahan tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan Melanesoid)[3]

Abris Sous Roche


Salah satu peninggalan zaman mesolitik berupa Abris sous roche.
Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal.[3] Penelitian mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun).[4] Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.[4] Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak Sumatera dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada daerah Timor dan Rote oleh Alfred Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon bertangkai dan hal ini diduga merupakan peninggalan bangsa Papua Melanesoide.[5]. Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala[3]. Kebudayaan Toala ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang PattaE dan inti dari kebudayaan ini adalah flakes dan pebble[3]. Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan pusat budaya prasejarah Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaa pebble (alat-alat tulang yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur)[3]. Sementara itu, penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang ditemukan berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan benda-benda perunggu[3].

Nomaden

Bangsa Nomaden atau bangsa pengembara, adalah berbagai komunitas masyarakat yang memilih hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain di padang pasir atau daerah bermusim dingin, daripada menetap di suatu tempat. Masyarakat yang berpindah-pindah tempat tetapi bukan di padang pasir atau daerah bermusim dingin, disebut sebagai kaum gipsi. Banyak kebudayaan dahulunya secara tradisional hidup nomaden, akan tetapi kebiasaan tradisional nomaden tersebut semakin lama semakin berkurang di negara-negara yang telah mengalami industrialisasi.
Terdapat tiga macam kehidupan nomaden, yaitu sebagai pemburu-peramu (hunter-gatherers), penggembala (pastoral nomads), dan pengelana (peripatetic nomads). Berburu-meramu adalah metode bertahan hidup yang paling lama bertahan dalam sejarah manusia, dan para pelakunya berpindah mengikuti musim tumbuhan liar dan hewan buruan. Para penggembala memelihara ternak dan berpindah ke tempat lain bersama piaraannya, agar tidak membuat suatu ladang penggembalaan habis dan tidak bisa diperbaiki lagi. Kaum pengelana umumnya banyak terdapat di negara-negara yang telah mengalami industrialisasi, dan para pelakunya berpindah-pindah tempat untuk menawarkan barang dagangan di mana saja mereka singgah.

Zaman batu

Zaman Batu terjadi sebelum logam dikenal dan alat-alat kebudayaan terutama dibuat dari batu di samping kayu dan tulang. Zaman batu ini diperiodisasi lagi menjadi 4 zaman, antara lain:

Zaman Batu Tua
Zaman batu tua (palaeolitikum) disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya, periode ini disebut masa food gathering (mengumpulkan makanan), manusianya masih hidup secara nomaden (berpindah-pindah) dan belum tahu bercocok tanam.
Terdapat dua kebudayaan yang merupakan patokan zaman ini, yaitu:
  1. Kebudayaan Pacitan (Pithecanthropus)
  2. Kebudayaan Ngandong, Blora (Homo Wajakinensis dan Homo Soloensis)
Alat-alat yang dihasilkan antara lain: kapak genggam/perimbas (golongan chopper/pemotong), Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa dan Flakes dari batu Chalcedon (untuk mengupas makanan)
Zaman Batu Tengah
1. Ciri zaman Mesolithikum:
a. Nomaden dan masih melakukan food gathering (mengumpulkan makanan)
b. Alat-alat yang dihasilkan nyaris sama dengan zaman palaeolithikum yakni masih merupakan alat-alat batu kasar.
c. Ditemukannya bukit-bukit kerang di pinggir pantai yang disebut Kjoken Mondinger (sampah dapur)
c. Alat-alat zaman mesolithikum antara lain: Kapak genggam (Pebble), Kapak pendek (hache Courte) Pipisan (batu-batu penggiling) dan kapak-kapak dari batu kali yang dibelah.
d. Alat-alat diatas banyak ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Flores.
e. Alat-alat kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua Lawa Sampung, Jawa Timur yang disebut Abris Sous Roche antara lain: Flakes (Alat serpih),ujung mata panah, pipisan, kapak persegi dan alat-alat dari tulang.
2. Tiga bagian penting kebudayaan Mesolithikum:
a. Pebble-Culture (alat kebudayaan kapak genggam dari Kjoken Mondinger)
b. Bone-Culture (alat kebudayaan dari Tulang)
c. Flakes Culture (kebudayaan alat serpih dari Abris Saus Roche)
3. Manusia pendukung kebudayaan Mesolithikum adalah bangsa Papua--Melanosoid
Zaman Batu Muda
Ciri utama pada zaman batu Muda (neolithikum) adalah alat-alat batu buatan manusia sudah diasah atau dipolis sehingga halus dan indah. Alat-alat yang dihasilkan antara lain:
  1. Kapak persegi, misalnya beliung, pacul, dan torah yang banyak terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan,
  2. Kapak batu (kapak persegi berleher) dari Minahasa,
  3. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah) ditemukan di Jawa,
  4. Pakaian dari kulit kayu
  5. Tembikar (periuk belaga) ditemukan di Sumatera, Jawa, Melolo (Sunda)
Manusia pendukung Neolithikum adalah Austronesia (Austria), Austro-Asia (Khamer-Indocina)
Zaman Batu Besar
Zaman ini disebut juga sebagai zaman megalithikum. Hasil kebudayaan Megalithikum, antara lain: 1. Menhir: tugu batu yang dibangun untuk pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang. 2. Dolmen: meja batu tempat meletakkan sesaji untuk upacara pemujaan roh nenek moyang 3. Sarchopagus/keranda atau peti mati (berbentuk lesung bertutup) 4. Punden berundak: tempat pemujaan bertingkat 5. Kubur batu: peti mati yang terbuat dari batu besar yang dapat dibuka-tutup 6. Arca/patung batu: simbol untuk mengungkapkan kepercayaan mereka

Kehidupan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam

Kehidupan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam - Kehidupan manusia setelah masa berburu dan mengumpulkan makanan adalah masa bercocok tanam. Bagaimanakah proses perkembangan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam?

a.    Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam

Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan itu dapat disebabkan karena ada interaksi antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Ketika kebutuhan hidup manusia terpenuhi oleh alam, manusia tidak perlu susah-susah membuat dan mengolah makanan. Manusia cukup mengambil dari alam, karena alam banyak menyediakan kebutuhan manusia, terutama makanan. Makanan itu antara lain buah-buahan dan binatang buruan. Kehidupan awal manusia sangat tergantung dari alam. Ketika alam sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup manusia, yang disebabkan populasi manusia bertambah dan sumber daya alam berkurang, maka manusia mulai memikirkan bagaimana dapat menghasilkan makanan.
Manusia harus mengolah alam. Pada masa ini kehidupan manusia berkembang dengan mulai mengolah makanan dengan cara bercocok tanam. Karena manusia sudah beralih pada tingkat kehidupan bercocok tanam, maka pola hidupnya tidak lagi nomaden atau berpindah-pindah. Manusia sudah mulai menetap di suatu tempat, yang dekat dengan alam yang diolahnya. Binatang buruan pun sudah ada yang mulai dipelihara. Dengan demikian, bercocok tanam dan beternak sudah berkembang pada masa ini. Alam yang dipakai untuk bercocok tanam adalah hutan-hutan. Hutan itu ditebang, dibersihkan, kemudian ditanami dengan tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, atau pepohonan lainnya yang dibutuhkan oleh manusia atau masyarakat. Cara yang mereka lakukan masih sangat sederhana. Berhuma merupakan cara bercocok tanam yang sangat sederhana. Karena berhuma memerlukan tempat yang subur, maka ketika tanah itu sudah tidak subur, mereka akan mencari daerah baru. Dengan demikian hidup mereka berpindah ke tempat baru untuk waktu tertentu, dan begitu seterusnya.

b.    Alat-alat yang dihasilkan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam

Peralatan pada masa bercocok tanam masuk pada zaman mesolithikum (zaman batu pertengahan) dan neolithikum (zaman batu muda). Namun demikian alat-alat yang dihasilkan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan atau zaman palaeolithikum tidak ditinggalkan. Alat-alat itu masih dipertahankan dan dikembangkan, seperti alat-alat dari batu sudah tidak kasar lagi tapi sudah lebih halus karena ada proses pengasahan. Berikut ini alat-alat atau benda-benda yang dihasilkan pada masa bercocok tanam.
1)    Kjokkenmoddinger Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa bercocok tanam, manusia purba sudah tinggal menetap. Salah satu bukti adanya sisa-sisa tempat tinggal itu ialah kjokkenmoddinger (sampah-sampah dapur). Istilah ini berasal dari bahasa Denmark (kjokken = dapur, modding = sampah). Penemuan kjokkenmoddinger yang ada di pesisir pantai Sumatera Timur menunjukkan telah adanya penduduk yang menetap di pesisir pantai. Hidup mereka mengandalkan dari siput dan kerang. Siput-siput dan kerang-kerang itu dimakan dan kulitnya dibuang di suatu tempat. Selama bertahun-tahun, ratusan tahun, atau ribuan tahun, bertumpuklah kulit siput dan kerang itu menyerupai bukit. Bukit kerang inilah yang disebut kjokkenmoddinger.
 Gambar 4.5 Pebble dari kjokkenmoddinger di Sumatera Timur
Gambar 4.5 Pebble dari kjokkenmoddinger di Sumatera Timur
Di tempat kjokkenmoddinger ditemukan juga alat-alat lainnya, seperti pebble (kapak genggam yang sudah halus), batu-batu penggiling beserta landasannya, alat-alat dari tulang belulang, dan pecahan-pecahan tengkorak.
2)    Abris Sous Rosche Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Selain Kjokkenmoddinger, jenis tempat tinggal lainnya ialah abris sous rosche, yaitu tempat berupa gua-gua yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang. Peralatan yang ditemukan berupa ujung panah, flakes, batu-batu penggiling, dan kapak-kapak yang sudah diasah. Alat-alat itu terbuat dari batu. Ditemukan juga alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Tempat ditemukannya abris sous rosche, antara lain Gua Lawa di Ponorogo, Bojonegoro, dan Lamoncong (Sulawesi Selatan).
 Gambar 4.6 Abris sous rosche di Lamoncong, Sulawesi Selatan
Gambar 4.6 Abris sous rosche di Lamoncong, Sulawesi Selatan
3)    Gerabah Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan manusia mengolah makanan. Hal ini dikarenakan fungsi gerabah di antaranya sebagai tempat meyimpan makanan. Gerabah merupakan suatu alat yang terbuat dari tanah liat kemudian dibakar. Dalam perkembangan berikut, gerabah tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan makanan, tetapi semakin beragam, bahkan menjadi barang yang memiliki nilai seni. Cara pembuatan gerabah mengalami perkembangan dari mulai bentuk yang sederhana hingga ke bentuk yang kompleks. Dalam bentuk yang sederhana dibuat dengan tidak menggunakan roda. Bahan yang digunakan berupa campuran tanah liat dan langsung diberi bentuk dengan menggunakan tangan. Teknik pembuatan semakin berkembang, pencetakan menggunakan roda, agar dapat memperoleh bentuk yang lebih baik bahkan lebih indah. Dalam perkembangan ini, pencetakan sudah memiliki nilai seni. Sisi gerabah mulai dihias dengan pola hias dan warna. Hiasan yang ada di antaranya hiasan anyaman. Untuk membuat hiasan yang demikian yaitu dengan cara menempelkan agak keras selembar anyaman atau tenunan pada gerabah yang masih basah sebelum gerabah dijemur. Kemudian gerabah dijemur sampai kering dan dibakar. Berdasarkan bukti ini, para ahli menyimpulkan bahwa pada masa ini manusia sudah mengenal bercocok tanam dan orang mulai dapat menenun.
 Gambar 4.7 Gerabah
Gambar 4.7 Gerabah (Sumber : itrademarket.com/all/gisj/o.html)
4)    Kapak persegi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Pemberian nama kapak persegi didasarkan pada bentuknya. Bentuk kapak ini yaitu batu yang garis irisannya melintangnya memperlihatkan sebuah bidang segi panjang atau ada juga yang berbentuk trapesium. Jenis lain yang termasuk dalam katagori kapak persegi seperti beliung atau pacul untuk yang ukuran besar, dan untuk ukuran yang kecil bernama tarah. Tarah berfungsi untuk mengerjakan kayu. Pada alat-alat tersebut terdapat tangkai yang diikatkan. Orang yang pertama memberikan nama Kapak Persegi yaitu von Heine Geldern.
 Gambar 4.8 Berbagai jenis kapak persegi
Gambar 4.8 Berbagai jenis kapak persegi
Daerah-daerah tempat ditemukannya kapak persegi yaitu di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Batu api dan chalcedon merupakan bahan yang dipakai untuk membuat kapak persegi. Kapak persegi kemungkinan sudah menjadi barang yang diperjualbelikan. Alat ini dibuat oleh sebuah pabrik tertentu di suatu tempat kemudian di bawa keluar daerah untuk diperjualbelikan. Sistem jual-belinya masih sangat sederhana, yaitu sistem barter. Adanya sistem barter tersebut, kapak persegi banyak ditemukan di tempat-tempat yang tidak banyak ada bahan bakunya, yaitu batu api.
 Gambar 4.9 Kapak persegi yang belum dihaluskan
Gambar 4.9 Kapak persegi yang belum dihaluskan
5)    Kapak lonjong Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Pemberian nama kapak lonjong berdasarkan pada bentuk. Bentuk alat ini yaitu garis penampang memperlihatkan sebuah bidang yang berbentuk lonjong. Sedangkan bentuk kapaknya sendiri bundar telor. Ujungnya yang agak lancip ditempatkan di tangkai dan di ujung lainnya yang bulat diasah hingga tajam. Ada dua ukuran kapak lonjong yaitu ukuran yang besar disebut dengan walzeinbeil dan kleinbel untuk ukuran kecil. Kapak lonjong masuk ke dalam kebudayaan Neolitihikum Papua, karena jenis kapak ini banyak ditemukan di Papua (Irian). Kapak ini ditemukan pula di daerah-daerah lainnya, yaitu di Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa, dan Serawak.
 Gambar 4.10 Kapak lonjong dari muka dan samping
Gambar 4.10 Kapak lonjong dari muka dan samping
Selain di Indonesia, jenis kapak lonjong ditemukan pula di negara lain, seperti Walzeinbeil di temukan di Cina dan Jepang, daerah Assam dan Birma Utara. Penemuan kapak lonjong dapat memberikan petunjuk mengenai penyebarannya, yaitu dari timur mulai dari daratan Asia ke Jepang, Formosa, Filipina, Minahasa, terus ke timur. Penemuan-penemuan di Formosa dan Filipina memperkuat pendapat ini. Dari Irian daerah persebaran meluas sampai ke Melanesia.
6)    Perhiasan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Hiasan sudah dikenal oleh manusia pada masa bercocok tanam. Perhiasan dibuat dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, seperti hiasan kulit kerang dari sekitar pantai. Hiasan lainnya ada yang terbuat dari yang dibuat dari tanah liat seperti gerabah, dan ada pula yang terbuat dari batu. seperti gelang, kalung, dan beliung.
 Gambar 4.11 Berbagai perhiasan dari batu
Gambar 4.11 Berbagai perhiasan dari batu
Pembuatan hiasan dari batu dilakukan dengan cara, pertama batu dipukul-pukul sampai menjadi bentuk gepeng. Setelah itu kedua sisi yang rata dicekungkan dengan cara dipukul-pukul pula, kedua cekungan itu bertemu menjadi lobang. Untuk menghaluskannya, kemudian digosok-gosok dan diasah sehingga membentuk suatu gelang. Bentuk gelang tersebut dari dalam halus rata dan dari luar lengkung sisinya. Selain dipukul, cara lain untuk membuat lobang pada gelang yaitu dengan cara menggunakan gurdi. Batu yang bulat gepeng itu digurdi dari kedua belah sisi dengan sebuah gurdi dari bambu. Setelah diberi air dan pasir, bambu ini dengan seutas tali dan sebilah bambu lainnya diputar di atas muka batu sampai berlubang.
7)    Pakaian Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Kebudayaan lainnya yang dimiliki oleh manusia pada masa bercocok tanam diperkirakan mereka telah memakai pakaian. Bahan yang digunakan untuk pakaian berasal dari kulit kayu. Daerah tempat ditemukan bukti adanya pakaian adalah di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat lainnya. Pada daerah-daerah tersebut ditemukan alat pemukul kulit kayu. Kulit kayu yang sudah dipukul-pukul menjadi bahan pakaian yang akan dibuat.
c.    Konsep kepercayaan dan bangunan megalit Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan sudah mengenal kepercayaan. Kepercayaan manusia ini mengalami perkembangan. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan kepercayaan baru sebatas adanya penguburan. Kepercayaan ini kemudian berkembang pada masa bercocok tanam dan perundagian. Bukti peninggalan kepercayaan pada masa bercocok tanam yaitu ditemukannya bangunan-bangunan batu besar yang berfungsi untuk penyembahan. Zaman penemuan batu-batu besar ini disebut dengan zaman megalithikum. Bangunan-bangunan batu yang dihasilkan pada zaman megalithikum antara lain sebagai berikut.
1)    Menhir
Menhir
merupakan tiang atau tugu batu yang dibuat untuk menghormati roh nenek moyang. Daerah-daerah tempat ditemukannya menhir di Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan Bali.
 Gambar 4.12 Menhir
Gambar 4.12 Menhir
2)    Sarkofagus
Sarkofagus
menyerupai peti mayat atau keranda yang bentuknya seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup. Benda ini terbuat dari batu sehingga diperkirakan kehadiran sarkofagus sezaman dengan zaman megalithikum (zaman batu besar). Adanya sarkofagus ini menandakan kepercayaan pada waktu itu, bahwa orang yang meninggal perlu dikubur dalam peti mayat. Di daerah Bali, sarkofagus ini banyak ditemukan.
3)    Dolmen
Tempat lain untuk melakukan pemujaan pada arwah nenek moyang pada waktu itu ialah Dolmen. Dolmen ini terbuat dari batu besar yang berbentuk meja. Meja ini berkaki yang menyerupai menhir. Dolmen berfungsi sebagai tempat sesaji dalam rangka pemujaan kepada roh nenek moyang. Di beberapa tempat, dolmen berfungsi sebagai peti mayat, sehingga di dalam dolmen terdapat tulang belulang manusia. Sebagai bekal untuk yang meninggal, di dalam dolmen disertakan benda-benda seperti periuk, tulang dan gigi binatang, dan alat-alat dari besi.
 Gambar 4.13 Dolmen
Gambar 4.13 Dolmen
4)    Kubur batu
Selain dolmen dan sarkofagus, ditemukan juga kubur batu yang fungsinya sebagai peti mayat. Bedanya ialah kubur batu ini dibuat dari lempengan batu, sedangkan dolmen dan sarkofagus dibuat dari batu utuh. Di daerah Jawa Barat, penemuan kubur batu banyak ditemukan.
 Gambar 4.14 Sarkofagus
Gambar 4.14 Sarkofagus
 Gambar 4.15 Sebuah keranda batu berisi kerangka manu
Gambar 4.15 Sebuah keranda batu berisi kerangka manusia
5)    Waruga
Waruga adalah kubur batu berbentuk kubus atau bulat. Bentuknya sama seperti dolmen dan sarkofagus, yaitu dibuat dari batu yang utuh. Di Sulawesi Tengah dan Utara banyak ditemukan waruga.
 Gambar 4.16 Waruga atau kubur batu
Gambar 4.16 Waruga atau kubur batu banyak ditemui di daerah Minahasa (sumber : www.baliautrement.com/ minahasa.waruga.2jpg)
 Gambar 4.17 Kubur batu
Gambar 4.17 Kubur batu
6)    Punden berundak-undak
Bangunan lainnya yang dihasilkan pada zaman megalithikum adalah punden berundak-undak. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan yang berupa batu tersusun secara bertingkat-tingkat. Di tempat punden berundak-undak biasanya terdapat menhir. Daerah ditemukannya punden berundak-undak antara lain di Lebak Sibedug (Banten Selatan) dan Ciamis (Jawa Barat).
 Gambar 4.18 Punden berundak-undak
Gambar 4.18 Punden berundak-undak dari Lebak Sibedug (Banten Selatan)
7)    Arca
Arca ini terbuat dari batu yang berbentuk patung binatang atau manusia. Tempat ditemukannya arca-arca antara lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan.

Sejarah

b.Tradisi masyarakat pra-aksara kepulauan Indonesia masa epi-paleolitik dan berburu
• Tradisi ekonomi
Dalam hal menghasilkan makanan, kebiasaan sebelumnya tetap dominan dilakukan. Masyarakat masih menggantungkan diri pada bahan makanan yang disediakan alam. Dalam hal  ini, aktivitas berburu merupakan kegiatan utama manusia dalam upaya mereka menghasilkan makanan. Dalam hal pemilihan makanan, berbagai jenis tumbuhan dan makanan laut seperti ikan, kerang, burung laut dan hewan laut lainnya semakin penting dalam daftar makanan mereka. Di Indonesia timur pada periode ini ditemukan bukti bahwa ada kebiasaan masyarakat mengkonsumsi sejenis tikus raksasa (sekarang sudah punah) serta memakan areca (buah pinang).

• Tradisi sosial
Jika sebelumnya manusia lebih memilih daerah dataran rendah atau padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil sebagai tempat tinggal, maka pada periode ini kelompok manusia terutama banyak menghuni gua-gua dan ceruk-ceruk tepi pantai. Beberapa kelompok ada yang memilih menetap tetapi ada juga yang bersifat setengah menetap (semi sedenter). Mereka sudah mulai melakukan pembagian kerja. Diantaranya ada kelompok-kelompok yang mulai mengkhususkan diri berburu hewan tertentu dan membuat peralatan yang lebih beragam untuk kegiatan-kegiatan khusus.
• Tradisi penggunaan alat-alat penunjang kehidupan
Tradisi alat hidup mereka diantaranya menghasilkan aneka bentuk mata pisau dan alat-alat batu lainnya, disamping alat tulang.

• Tradisi kepercayaan melalui seni
Tradisi membuat lukisan, yang kemungkinan juga berkaitan dengan kepercayaan masyarakat sudah mulai muncul pada masa ini. Di wilayah Indonesia timur banyak ditemukan aneka bentuk lukisan yang catnya terbuat dari bahan hematit merah. Lukisan-lukisan itu mereka gambar pada dinding-dinding gua tempat tinggal mereka. Kebanyakan gambar-gambar itu adalah berupa cap tangan dan babi liar.

c. Tradisi masyarakat prasejarah kepulauan Indonesia masa bercocok tanam
• Tradisi ekonomi
Tradisi perekonomian masyarakat mengalami perkembangan pada masa ini. Jika sebelumnya banyak menggantungkan diri pada alam, mereka mulai mencoba mengupayakan bercocok tanam dan beternak, kendati masih dengan cara yang sangat sederhana.
Di wilayah timur kepulauan Indonesia masa antara 4.500 hingga 5.000 tahun lalu, kegiatan cocok tanam perladangan dan peternakan sudah dilakukan. Padi sudah mulai ditanam di wilayah Sulawesi bagian selatan. Pada waktu yang sama, tradisi beternak babi dan kambing sudah ada dalam wilayah yang luas yang meliputi Sulawesi hingga wilayah Timor. Pada waktu yang bersamaan dengan migrasi bangsa Austronesia ke Indonesia, penduduk Irian juga telah mengembangkan pertanian mereka sendiri terutama buah-buahan dan umbi-umbian. Perpaduan antara tradisi pertanin bangsa Austronesia dengan penduduk Irian telah membentuk pembauran mata pencaharian. Tumbuh-tumbuhan khasa Melanesia seperti sagu dan kenari dimanfaatkan di wilayah Maluku dan Irian. Berbeda dengan wilayah lainnya, tanaman padi nampaknya dikesampingkan di daerah ini.
Seiring dengan berkembangnya pola pikir, teknik dan model pertanian juga mengalami perkembangan. Mereka menemukan teknik pengairan, perawatan tanaman dan pemupukan. Dengan demikian pada periode ini telah terjadi pergeseran tradisi masyarakat dari yang semula bersifat food gathering berubah menjadi food producing.

• Tradisi sosial
Pada masa ini kehidupan masyarakat ditandai dengan berkembangnya tradisi neolitik. Manusia mulai menetap di desa-desa dengan jumlah penduduk antara 300 hingga 400 orang. Masyarakat pada masa ini juga telah menjalankan tradisi “jenjang sosial” dalam kelompok-kelompok kecil masyarakat. Jenjang sosial itu mereka dasarkan pada sejumlah prinsip tertentu. Prinsip paling utama adalah para keturunan pendiri permukiman atau yang pertama kali membuka lahan baru akan cenderung memiliki jenjang atau status sosial yang tinggi.
Kalau kita melihat masyarakat Austronesia tradisional dimanapun, nenek moyang selalu mendapat perhatian yang besar baik itu dalam seni maupun mitologi dan tradisi. Para pemimpin sering memperoleh kekuasaan karena mereka dapat menunjukkan jejak keturunan yang jelas dari nenek moyang pendiri marga atau suku. Dengan demikian kerabat pendiri yang mempunyai jenjang tinggi biasanya berpeluang memegang jabatan sebagai penguasa sekuler maupun keagamaan orang-orang seperti ini bisa memberi keputusan atas masalah-masalah desa, berhak menerima sumbangan makanan dan tenaga dari kelompok pendukung mereka. Mereka ini umumnya menunjukkan status mereka melalui kepemilikan atas barang-barang lambang kekayaan seperti guci Cina, manik-manik kuno, bangunan megalitik, senjata-senjata yang bagus, nekara dan sebagainya. Bukti kemakmuran lain dinyatakan melalui keberhasilan dalam pertanian dan membiakkan ternak, khususnya babi yang hasilnya bisa dipakai dalam pesta-pesta bergengsi.
Contoh dari masyarakat yang masih menerapkan sistem berjenjang yang asli adalah masyarakat Nias bagian selatan di lepas pantai barat Sumatera. Di beberapa kelompok masyarakat Kalimantan Tengah juga mempunyai sistem kelas yang didasarkan atas warisan, persekutuan antar keluaga serta kepemilikan benda-benda yang bernilai tinggi. Kelompok-kelompok masyarakat yang dimaksud seperti orang Kenyah, Kayan, dan Maloh. Mereka masih mempertahankan tiga atau empat lapisan sosial mulai dari bangsawan hingga ke budak. Para pemimpin mempertahankan status mereka melalui perkawinan campuran dengan keluarga-keluarga pemimpin di desa-desa lain. Pengorbanan budak dalam upacara kematian seorang pemimpin (seperti di Nias) juga terjadi di antara orang Kayan dan Melanau di Sarawak.
Dalam hal tradisi yang berkaitan dengan unsur kepercayaan diduga bahwa masyarakat sudah melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang mereka disamping kepercayaan akan kekuatan alam. Ada kelompok-kelompok yang mulai memilih pemimpin, diantara mereka.

• Tradisi kepercayaan
Masyarakat pada masa ini diperkirakan sudah mulai menjalankan tradisi pemujaan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan alam yang dilambangkan atau disimbulkan dalam bentuk pembuatan patung-patung sebagai sarana pemujaan.

Rabu, 25 April 2012

Ikuti dan berbagi

Ikuti Berbagi

Hanya coba



media fire rar
media fire pptx

pw (blog utamamu)

Kamis, 12 April 2012

tes for coba


http://steven.slwsteven12.com/nph-proxy.pl/000110A/http adf.ly/1683974/http a=(document.form1.ak.value)


tes

Selasa, 10 April 2012

Roads of Rome 2


Kalkulator Trigonometri

Kalkulator trigonometri
Sudut:

Sumber

Senin, 09 April 2012

Tes Coba



Senin, 02 April 2012

AL FAATIHAH

Bismi allaahir rahmaanir rahiimi

1 Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
alhamdu lillaahi rabbi 'aalamiina

2 Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
arrahmaani arrahiimi

3 Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
maaliki yawmid diini

4 Yang menguasai di Hari Pembalasan
iyyaaka na'budu wa-iyyaaka nasta'iinu

5 Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
ihdinaa shshiraatha mustaqiima

6 Tunjukilah kami jalan yang lurus,
shiraatha alladziina an'amta 'alayhim ghayri maghdhuubi 'alayhim walaa dhdhaalliina

7 (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.